Pelayanan Rumah Sakit di Sumbawa Mengecewakan, Banyak Pasien BPJS Mengeluh

oleh -2788 Dilihat

SUMBAWA BESAR, samawarea.com (5 April 2025) – Masyarakat Kabupaten Sumbawa, terutama peserta BPJS, mengungkapkan kekecewaannya atas perubahan dalam pelayanan medis di RSUD Sumbawa. Pasien yang datang dengan keluhan sesak napas, demam tinggi, atau masalah kesehatan lainnya, ternyata tidak bisa dilayani dengan menggunakan BPJS, seperti yang biasanya mereka terima selama ini.

Hal ini menyebabkan kebingungan dan kekesalan karena mereka harus membayar biaya sebagai pasien umum. Petugas medis setempat menjelaskan bahwa untuk dilayani sebagai pasien BPJS, kondisi pasien harus berada dalam keadaan gawat darurat dan sangat kritis.

Contohnya, panas tubuh yang mencapai 40 derajat Celsius baru dapat diterima sebagai kondisi gawat darurat, meskipun suhu tubuh yang lebih rendah seperti 39 derajat Celsius sudah cukup mengkhawatirkan dan juga membahayakan nyawa.

Tanggapan netizen pun ramai muncul di media sosial (Facebook). Banyak yang merasa terkejut karena kebijakan ini dirasa mendadak karena tidak ada sosialisasi sebelumnya. Seorang netizen bahkan menceritakan pengalamannya saat membawa keponakannya ke IGD RSUD Sumbawa malam Lebaran Idul Fitri karena asam lambungnya kambuh, namun harus diperlakukan sebagai pasien umum dan membayar biaya pengobatan.

Bukan hanya IGD RSUD Sumbawa, kebijakan serupa juga diterapkan rumah sakit lainnya termasuk UGD Puskesmas, yang menyebabkan banyak pasien BPJS merasa bingung dan tidak mendapatkan penanganan yang cepat.

Sebelumnya, aturan ini tidak pernah diberlakukan. Peserta BPJS yang datang pada malam hari, langsung mendapat pelayanan di IGD RSUD, sementara pada siang hari bisa diarahkan ke poli atau fasilitas kesehatan lainnya sesuai pilihan peserta.

Direktur RSUD Sumbawa, dr. Mega Harta M.PH, yang dikonfirmasi terkait masalah ini, Sabtu (5/4/25) pagi, mengatakan bahwa permasalahan serupa juga terjadi di seluruh rumah sakit di Indonesia, termasuk RS Manambai Abdul Kadir (RSMA) dan RS Muhammadiyah Sumbawa. Dr. Mega tidak menampik sering menerima keluhan dari pasien BPJS, bahkan ada pengaduan langsung kepada Bupati Sumbawa terkait pelayanan di IGD RSUD.

Untuk dilayani, menurut Dr. Mega, ada kriterianya. Ada pasien gawat darurat dan ada pasien yang tidak memenuhi kriteria gawat dan darurat. Ia memastikan di IGD RSUD, petugas sudah menjalankannya karena keluhan seperti ini cukup sering terjadi. Bahkan sejak awal BPJS pun sudah terjadi. Permasalahannya adalah pemahaman tentang “gawat darurat” di masyarakat dan di petugas kesehatan.

Dijelaskannya, gawat darurat adalah kondisi yang mengancam jiwa dan membutuhkan penanganan segera untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan. Ciri-ciri gawat darurat adalah mengancam nyawa, membahayakan diri, orang lain, atau lingkungan. Gangguan pada jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi, penurunan kesadaran, adanya gangguan hemodinamik, dan memerlukan tindakan segera

Ia menyontohkan, ada pasien yg merasa darurat misalnya mual, dan gatal yang sangat mengganggu. Menurut pasien dia gawat darurat padahal kasus ini tidak gawat.

Kendati demikian, di IGD, pasien tetap akan diperiksa, lalu diberikan obat untuk sekali minum, dan akan dianjurkan berobat di Faskes 1 yaitu Puskesmas dan Dokter Keluarga sesuai dengan pilihan kepesertaan BPJS. Akan tetapi ketika pasien meminta pelayanan lebih, seperti dirawat, diperiksa Lab dan seterusnya, akan dianjurkan umum karena tidak termasuk kriteria gawat darurat.

Lalu mengapa kebijakan ini baru diberlakukan, sehingga membuat pasien BPJS terkejut dan bingung ?

Dr Mega mengatakan ini bukan baru, dan sudah ada sejak lama, bahkan sejak dirinya bertugas di Bali Tahun 1997 lalu di Puskesmas Lape dan sekarang di RSUD Sumbawa. Kasus tidak gawat darurat tetapi ke IGD) selalu terjadi.

“Panas sedikit ke IGD, gatal ke IGD, dan mual muntah ke IGD. Ini sering terjadi. Hanya saja sekarang dengan sistem BPJS diatur lebih ketat, tidak ditanggung. Pernah terjadi yang sudah dibayarkan oleh BPJS harus dikembalikan oleh RSUD karena bukan kasus gawat darurat. Jumlahnya cukup besar mencapai ratusan juta rupiah,” akunya.

Demikian ketika Ia masih bertugas di Puskemas. Ia merasa kasihan dengan pasien yang datang tengah malam sehingga akhirnya tetap ditangani. Tetapi tidak selamanya bisa seperti itu, pihaknya harus mulai membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.

“Ini menjadi tanggung jawab kita bersama, baik dengan BPJS, fasilitas kesehatan, maupun Dinas Kesehatan untuk melakukan sosialisasi lebih lanjut,” ujarnya.

Sementara Kepala BPJS Sumbawa, Rahmatullah SE mengatakan, bahwa aturan itu bukan dari BPJS melainkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan.

Dalam Permen tersebut terutama pada pasal 3 menyebutkan, bahwa pelayanan kegawatdaruratan harus memenuhi kriteria kegawatdaruratan meliputi, mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan. Kemudian adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Adanya penurunan kesadaran. Adanya gangguan hemodinamik, dan/atau memerlukan tindakan segera.

“Untuk mendiagnosa itu tentunya yang bisa adalah dokter penanggung jawab pasien (DPJP), bukan kami dari BPJS,” pungkasnya. (SR)

 

AMNT pilkada NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *