Oleh: Uci Purnamasari, S.Pd *)
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) pada awal tahun 2025 mengumumkan pergantian sistem penerimaan murid baru menjadi SPMB. Semula istilah ini dikenal dengan Penerimaan Peserta Didik Baru atau yang disingkat PPDB yang kini diubah menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru atau yang disingkat SPMB.
Sama seperti respon ketika menanggapi kurikulum, banyak pihak yang mengklaim bahwa ini hanya berubah nama. Tidak ada beda dengan yang sebelumnya, dan anggapan bahwa hal ini hanya ditujukan agar terlihat kerja.
Berdasarkan pengamatan penulis, terdapat landasan filosofis yang menjadi dasar perubahan tersebut. SPMB tidak hanya sekadar perubahan nama, sistem ini justru lebih inklusif, objektif dan tidak diskriminatif lantaran memperhatikan pemerataan dan kesetaraan peserta didik. Pasalnya, di PPDB yang semula menerapkan sistem zonasi, dalam SPMB terbuka empat jalur untuk memberi kesempatan bagi peserta didik memutuskan tempat bersekolah.
Lebih lanjut, pendidikan merupakan salah satu kunci kemajuan bangsa. Oleh karena itu, Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) hadir tak sekadar mekanisme administrasi tetapi sebagai strategi nasional untuk mewujudkan pemerataan pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan berkeadilan. Kendati terus membutuhkan penguatan dalam pelaksanaannya, mekanisme SPMB tercatat menuai respons positif dari masyarakat. Yakni, dalam hal awareness dan persepsi publik atas perubahan istilah dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ke SPMB, hingga pemahaman terhadap Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Berbasis temuan Katadata Insight Center (KIC) dalam sebuah survei yang dilaporkan bulan lalu, perubahan dari PPDB ke Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tampak diterima positif oleh publik, namun masih menyisakan pekerjaan rumah kebijakan. Survei KIC (1–22 Agustus 2025, n=1.074, non-probability sampling terhadap orang tua pendaftar SPMB) menunjukkan awareness 80%; 88% responden menilai SPMB lebih baik daripada PPDB dan 90% menilai sesuai harapan. Skor kepuasan rata-rata berada di 3,26 (skala 1–4), dengan aspek tertinggi ketiadaan biaya seleksi (3,46), transparansi hasil (3,31), dan kejelasan waktu pelaksanaan (3,30).
Di sisi manfaat, responden menyorot pemerataan akses (63,7%), transparansi (50,9%), dan berkurangnya dominasi “sekolah favorit” (49,8%). Kritik utama berkisar pada sosialisasi yang kurang memadai (24,9%) dan kendala teknis situs pendaftaran (10,2%). Temuan-temuan ini konsisten dengan ringkasan KIC yang merilis bahwa SPMB dinilai publik lebih baik dari PPDB dan menjadi kebijakan baru yang menggantikan PPDB mulai 2025.
Secara normatif, SPMB disiapkan sebagai instrumen keadilan dan transparansi seleksi—arah yang tepat untuk mengoreksi distorsi zonasi yang kerap melanggengkan ketimpangan mutu antar sekolah. Namun, karena desain survei menggunakan non-probability sampling daring, pembuat kebijakan perlu berhati-hati mengekstrapolasi angka ini sebagai representasi nasional yang definitif.
Untuk mengonversi persepsi positif menjadi kinerja yang berkelanjutan, ada tiga implikasi kebijakan. Pertama, perkuat strategi komunikasi publik lintas kanal (sekolah asal/tujuan dan media sosial) agar pemahaman jalur seleksi merata—survei menunjukkan hanya 6 dari 10 responden yang benar-benar memahami perbedaan jalur seleksi.
Kedua, standarisasi tata kelola teknis (SLA sistem, uji beban, helpdesk) untuk menekan error yang menggerus kepercayaan. Ketiga, integrasikan pemantauan equity berbasis data (mis. proporsi penerimaan siswa prasejahtera/disabilitas per kabupaten/kota) dan audit independen transparansi kuota—dua poin manfaat yang menjadi alasan utama dukungan publik terhadap SPMB.
Dengan melengkapi kebijakan (Permendikdasmen No. 3/2025) melalui pengawasan implementasi yang kuat, pemerintah berpeluang mengunci legitimasi SPMB sekaligus meningkatkan akses dan keadilan layanan pendidikan.
Dari perspektif kebijakan publik, hasil riset ini menegaskan pentingnya governance dalam implementasi kebijakan pendidikan digital. SPMB tidak hanya menuntut transparansi sistem, tetapi juga keandalan teknologi, kesiapan birokrasi daerah, dan mekanisme pengawasan independen. Pemerintah pusat dan daerah perlu membangun sistem monitoring yang menggabungkan data penerimaan siswa, latar belakang sosial ekonomi, serta persebaran wilayah sekolah untuk mengukur seberapa jauh sistem ini benar-benar menciptakan pemerataan akses.
Lebih jauh, temuan KIC menegaskan bahwa persepsi publik yang positif harus dijaga melalui akuntabilitas berkelanjutan dan komunikasi yang terbuka. Tanpa pemeliharaan kepercayaan publik, reformasi sistem seleksi seperti SPMB berisiko kembali menghadapi resistensi sosial seperti yang pernah dialami PPDB. Oleh karena itu, reformasi kebijakan pendidikan perlu dilihat sebagai proses adaptif, bukan kebijakan sekali jadi. Dengan perbaikan teknis, konsistensi regulasi, serta partisipasi publik yang terus diperkuat, SPMB berpotensi menjadi model penerimaan murid yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan sosial, sejalan dengan prinsip pemerataan pendidikan dalam konstitusi dan arah kebijakan nasional pendidikan 2045.
Dengan demikian, kesimpulan utama dari opini ini adalah bahwa SPMB merupakan langkah maju menuju sistem pendidikan yang lebih meritokratik dan demokratis, namun keberlanjutannya sangat bergantung pada konsistensi pemerintah dalam menjaga transparansi, meningkatkan literasi kebijakan di tingkat masyarakat, serta mengelola tantangan teknis dan struktural secara terbuka dan partisipatif.
*) Guru di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Sumbawa, NTB.






