Kelola Taman Nasional Moyo Satonda, UTS Lanjutkan Kerjasama dengan BKSDA

oleh -697 Dilihat

SUMBAWA BESAR, samawarea.com (14 Februari 2025) – Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) melanjutkan kerjasama dengan BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) NTB. Kerjasama ini untuk mengelola salah satu dari tiga taman nasional di NTB yaitu Taman Nasional Moyo Satonda.

Wakil Rektor 1 Universitas Teknologi Sumbawa (UTS), Win Ariga Mansyur Malonga, M.Sc kepada samawarea.com, Jumat (14/2/25), mengatakan kerjasama ini melanjutkan kerjasama yang digagas sejak zaman Chairul Hudaya Rektor UTS sebelumnya. Kerjasama itu dilakukan karena UTS adalah kampus lokal yang letaknya dekat dengan taman tersebut.

“Ada beberapa program yang akan kita lakukan. Kita diminta membantu melakukan konservasi di area sekitar Pulau Moyo Satonda khususnya populasi Kakaktua Jambul Kuning Kecil (Cacatua sulphurea),” kata Win—sapaan akrab akademisi muda ini.

Belum lama ini, ungkap Win, pihak BKSDA datang, salah satu tujuannya untuk melakukan penelitian genetik Kakaktua Jambul Kuning Kecil. Dari penelitian ini, nantinya kakaktua jenis tersebut memiliki semacam identitas seperti KTP.

“Ketika Kakaktua Jambul Kuning Kecil asli Pulau Moyo terbang atau bermigrasi ke wilayah lain, akan tetap teridentifikasi. Meski pun burung itu berada di Singapura atau Australia sekalipun, tetap berasal dari Pulau Moyo Sumbawa,” jelas Win.

Lebih jauh dikatakan Win, kerjasama dengan BKSDA merupakan bukti komitmen UTS menjaga lingkungan hidup. Ini juga ditunjukkan dari adanya program studi yang dibuka UTS khusus konservasi sumber daya alam.

Baca Juga  Pengumuman Hasil Penelitian Persyaratan Administrasi Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Tahun 2024

“Upaya ini bagian dari UTS untuk melakukan investasi di lingkungan agar langkah menjaga lingkungan ini berkelanjutan,” ujarnya.

Disinggung maraknya penebangan liar dan pembukaan lahan di Pulau Moyo yang dikhawatirkan berpengaruh terhadap populasi Kakaktua Jambul Kuning Kecil, Win mengakuinya. Menurutnya, aksi tersebut berpengaruh besar karena Kakaktua Jambul Kuning sangat menyukai hutan yang lebat. Dengan menyempitnya kawasan hutan, populasi burung yang dilindungi ini semakin berkurang, karena terpaksa memilih bermigrasi ke wilayah lain.

“Inilah alasan kami berkali-kali diundang BKSDA salah satunya untuk meneliti zonasi di Pulau Moyo. Menyusul adanya program pengelolaan jangka panjang Taman Nasional Pulau Moyo. Dari penelitian ini akan dilakukan pemetaan zonasi, yaitu ada zonasi inti, zonasi pendukung dan zonasi rehabilitasi. Dari pemetaan ini, UTS akan lebih focus untuk melakukan penelitian di salah satu zonasi itu,” ungkapnya.

Untuk diketahui, PBB telah menetapkan tiga tempat di Indonesia menjadi kawasan hewan endemic. Di antaranya Gajah di Sumatera dan Kakaktua Jambul Kuning Kecil di Pulau Moyo Sumbawa NTB. Tentunya ini menjadi peluang bagi masyarakat dan daerah untuk “menjualnya” sebagai ikon wisata, karena Pulau Moyo tempat keberadaan Kakaktua Jambul Kuning adalah satu-satunya di dunia.

“Jadi sangat sayang kalau kampus seperti UTS yang ada di wilayah lokalnya tidak terlibat. Dan Alhamdulillah UTS satu-satunya kampus di NTB yang punya perjanjian kerjasama dengan BKSDA untuk mengelolanya,” demikian Win Malonga.

Baca Juga  Andi Laweng Dorong Pemda Sumbawa Barat Maksimal Membantu SGI

Secara terpisah Tokoh Pemuda Inspiratif, Muhammad Iqbal Sanggo mengaku pernah memberikan perhatiannya terhadap keberlangsungan Kakaktua Jambul Kuning. Melalui lembaganya, Sumbawa Biodiversity, Iqbal Sanggo—akrab dia disapa, mencurahkan kegelisahannya terhadap keberlangsungan populasi Burung Kakatua di Pulau Moyo.

Ia sempat menggelar program yang dikemas dalam Senandung Kakatua at Pulau Moyo pada Oktober 2018 lalu. Kegiatan itu didukung penuh Birding Indonesia, WPT (World Parrot Trust) Oase Sumbawa, difasilitasi BKSDA NTB, SUARA NTB dan Media Online SAMAWAREA sebagai media partner.

Menurut Iqbal Sanggo, kegiatan tersebut merupakan upaya untuk merespon keindahan Pulau Moyo yang penuh dengan potensi alam dan keanekaragaman hayati. Salah satunya adalah Burung Kakatua Jambul Kuning Kecil yang dikenal oleh masyarakat Sumbawa dengan sebutan Pekat.

Ide dari acara itu berangkat dari ketakutannya yang sangat mendalam akan keberlangsungan populasi hewan cantik ini. Ia khawatir kelak anak-anaknya nanti hanya dapat menyaksikan keindahan Burung Kakatua melalui gambar, cerita-cerita atau dari nyanyian lagu tanpa pernah melihatnya secara langsung.

“Kami tidak ingin Kakaktua Jambul Kuning Kecil hanya tinggal cerita. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah melakukan konservasi sehingga Kakaktua Jambul Kuning Kecil bukan hanya menjadi kebanggaan tapi juga ikon pariwisata yang bisa memberikan konstribusi bagi mayarakat dan daerah,” harapnya. (SR)

rokok pilkada NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *