Oleh: Iwan Febryanto
Filosofi dasar pengobatan
Secara filosofi dalam dunia kedokteran bahwa dokter bertindak untuk menyembuhkan pasien atau menolong menyelamatkan pasien. Karena itulah seorang dokter harus memiliki dasar keilmuwan dan keahlian yang standard dan professional. Melalui pendidikan kedokteran yang baik maka seorang dokter akan mendapat sertifikasi untuk memberikan layanan medik dan mengambil tindakan medik kepada pasien sesuai standar keilmuwan yang dimiliki.
Secara hukum hubungan dokter dan pasien merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha yang maksimal. Dokter tidak menjanjikan kepastian kesembuhan, akan tetapi berikhtiar secara professional dan maksimal agar pasien sembuh. Secara tradisional suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui suatu proses negosiasi diantara mereka.
Perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan, yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan.
Pada Pasal 56 ayat (1) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan dijelaskan bahwa: “Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”.
Pada persetujuan tindakan medis (informed concent), pasien dapat menerima sebagian atau seluruhnya tindakan yang akan dilakukan oleh dokter, pihak pasien mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan yang dilakukan sesuai keinginannya, sementara didalam kontrak baku seorang debitur menerima atau menolak seluruhnya klausula yang diajukan, tidak sebagian tetapi seluruhnya.
Pada persetujuan tindakan medis dan persetujuan rawat antara dokter dan pasien, perjanjian antara kedua belah pihak ini bersifat standard contract atau perjanjian baku, karena pasien mengisi data dari suatu bentuk formulir dan memberikan persetujuan dalam bentuk tandatangan, sementara pihak rumah sakit telah menyediakan blangko khusus, namun persetujuan ini berbeda dengan kontrak baku pada umumnya, karena sebelum pasien memberikan persetujuan dalam bentuk tertulis, pasien juga dapat bernegosiasi kepada dokter secara lisan sebelum akhirnya dituangkan dalam perjanjian tertulis yang dikenal dengan sebutan persetujuan tindakan medis (informed consent).
Berbeda dengan kontrak baku pada umumnya, bahwa didalam kontrak baku kebebasan untuk melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausul perjanjian.
Perjanjian terapeutik persetujuan tindakan medis (informed concent)
Seiring berkembangnya waktu, teknologi menjadi semakin maju. Kemajuan ini juga berdampak pada dunia kedokteran dan dukungan teknis fasilitas kesehatan. Ditambah lagi, keberadaan Pandemi Covid-19 menjadikan penggunaan telemedisin (telemedicine) semakin marak dan diminati oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan telemedicine dianggap lebih praktis dan efisien dari segi biaya dan waktu. Telemedicine sebagai salah satu bentuk pelayanan medis yang tidak lepas dari konteks persetujuan tindakan medis (informed consent) menjadi faktor perkembangan konsep pelaksanaan persetujuan tindakan medis (informed consent). Pelaksanaan persetujuan tindakan medis (informed consent) kini sangat dimungkinkan dilakukan secara daring (online) melalui perkembangan dunia teknologi dan informasi yang sangat pesat.
Hal ini sangatlah penting mengingat kompleksitas, bervariasinya kasus yang ditangani dokter dalam mengambil suatu keputusan dan tindakan. Selain itu banyak faktor yang memengaruhi proses persetujuan tindakan medis (informed consent) seperti kondisi pasien, kondisi keluarga dekat pasien, aspek jarak dan waktu, kondisi penyakit yang diderita pasien dan faktor biaya. Persetujuan tindakan medis (informed consent) yang dilakukan secara daring (online) hingga saat ini belum diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan, karena itu penggunaannya jika dimaksudkan untuk memfasilitasi serta melengkapi dan memudahkan pelaksanaan persetujuan tindakan medis (informed consent) secara daring (online) maka dikecualikan pada kasus tertentu, misalnya pasien yang masuk Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit namun tidak memiliki keluarga atau keluarganya berada jauh dari daerah tempat pasien berada atau dirawat.
Dalam memutuskan sebuah perjanjian terapeutik tindakan medis (informed concent) selain harus memperhatikan substansi dan isi perjanjian juga kondisi dan kelengkapan pihak yang memberikan persetujuan. Beberapa syarat mendasar sebelum suatu perjanjian diterima atau ditolak adalah aspek usia dan kompeten sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia, maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam membuat keputusan.
Informed Consent dan Implikasi Hukum
Sebelum UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran disahkan perkembangan sosial ekonomi sangat dinamis yang ditandai pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pusat pelayanan kesehatan lainnya) sangat pesat. Kemajuan ini juga ditopang kemajuan dunia kedokteran, spesialisasi dan sub-spesialisasi keahlian meningkat. Jumlah mahasiswa kedokteran tumbuh pesat, sarjana kedokteran tumbuh dengan cepat. Namun rasio jumlah dokter berdasarkan jumlah penduduk masih rendah. Masalah lainnya distribusi tenaga medis juga kurang merata, dikota besar jumlah dokter cukup namun dikabupaten dan desa-desa kekurangan dokter. Indikatornya setiap puskesmas di kecamatan harus tersedia minimal 1 orang tenaga dokter.
Masalah lainnya juga terkait pembiayaan pengobatan kerumah sakit/dokter masih sangat mahal. Sehingga muncul idiom “orang miskin dilarang sakit”, maksudnya biaya pengobatan dan rumah sakit yang mahal sehingga tidak terjangkau oleh warga miskin dan rentan miskin. Tahun 1990an hingga 2000 sistem penjaminan kesehatan seperti BPJS belum ada, sehingga hanya asuransi komersial yang menyelenggarakan penjaminan kesehatan bagi anggotanya. Sementara lebih dari 200 juta penduduk tidak dijamin negara untuk pembiayaan kesehatan.
Sebelum disahkan Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran maka posisi dokter sangat kuat secara hokum dan relasi layanan medik. Sementara pasien hanya pasif, awam ilmu kedokteran dan pasrah untuk menerima pengobatan maupun tindakan medik kedokteran. Melalui UU No 29/2004 diatur mengenai hak dan kewaajiban dokter serta kedudukan pasien. Dengan demikian relasi antara dokter dan pasien menjadi setara dan adil. Salah satu hal terkait Informed Consent Tindakan Medik diatur dalam Pasal 45 bahwa “setiap tindakan medis harus dengan persetujuan”.
Persetujuan yang dimaksud adalah dari Pasien atau keluarga pasien bila pasien tidak sadar. Dalam prakteknya proses persetujuan pasien harus melalui diskusi dan komunikasi yang baik dan lengkap dari dokter terkait beberapa hal: (i) kondisi kesehatan pasien, (ii) tindakan yang dapat dilakukan, (iii) kemungkinan tindakan perluasan, (iv), risiko yang mungkin terjadi, (v) waktu yang diperlukan selama tindakan, dan informasi detil lainnya melalui diskusi dokter dan pasien serta keluarganya.
Beberapa fakta hokum sebagai dampak tindakan medis harus dilihat secara utuh seperti rekam medik, informed consent, dokumen SOP dan SP rumah sakit. Jadi meskipun output tindakan medik adalah pasien meninggal dunia (fakta hokum) namun dokter tidak bisa disalhkan dan disangkakan dengan perbuatan melawan hokum (Pasal 351 KUHP) bila dokter telah memenuhi seluruh ketentuan diatas. Kecuali kasus mal praktik atau tindakan yang ditidak disetujui pasien (informed refusal) namun dokter tetap melakukan tindakan dan fatal. Jadi fakta hukum harus berdasarkan pertimbangan hukum dan bukti-bukti pendukung.
Simpul: Inspannings verbintenis filosofi dasar medis
Upaya maksimal untuk menyembuhkan dan menyelamatkan pasien (inspannings verbintenis) adalah prinsip dasar pijakan dari upaya kedokteran atau medik. Dalam makna lain bahwa dokter sesuai sumpahnya adalah berusaha maksimal memberikan pengobatann dan mengutamakan keselamatan pasien. Termasuk upaya operasi, pembedahan dan tindakan medis lainnya yang merusak jaringan tubuh pasien. Namun dalam praktiknya harus sesuai ketentuan UU No 29 tahun 2004, SOP dan Standar Profesi. Hal terpenting diperhatikan yakni “persetujuan” pasien sebelum tindakan dilakukan. Dengan demikian upaya dokter untuk menolong dapat terhindar dari tuntutan hokum bila pasien meninggal dunia atau cacat secara fisik. (*)