DPR RI Diminta Usut Dugaan ‘Main Mata’ di Balik Pencairan Dana Konsinyasi Jalan Samota

oleh -1557 Dilihat

SUMBAWA BESAR, samawarea.com (30 Mei 2025) – Ketua Umum Front Pemuda Peduli Keadilan Pulau Sumbawa (DPP FPPK-PS), Abdul Hatab, bersama tim kuasa hukum Sri Marjuni Gaeta melakukan audiensi dengan Komisi II DPR RI di ruang VIP Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (BIZAM), NTB, Rabu (28/5).

Audiensi yang dihadiri sejumlah anggota Komisi II DPR RI, di antaranya Muhammad Rifqinizamy Karsayuda (Ketua Rombongan), Dede Yusuf, Fauzan Halid, Kamarudin Watubun, Taufan Pawe, Indra Jaya, dan Rusda Mahmud ini membahas persoalan pencairan dana konsinyasi pembebasan lahan untuk proyek pembangunan Jalan Samota di Kabupaten Sumbawa.

Dalam pertemuan tersebut, Abdul Hatab menyampaikan sejumlah dugaan pelanggaran hukum, termasuk dugaan keterlibatan oknum di Pengadilan Negeri (PN) Sumbawa dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbawa dalam proses pencairan dana ganti rugi lahan secara sepihak. “PN Sumbawa harus bertanggung jawab karena mencairkan dana konsinyasi sebelum adanya keputusan hukum tetap. Tanah tersebut masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung,” tegas Hatab.

Dugaan Pencairan Ganda di Lokasi Sama

Hatab membeberkan adanya dua kali pencairan anggaran pada bidang tanah yang sama, yakni dalam Daftar Urut Nominatif No.87, yang diduga kuat sebagai pelanggaran hukum. Pada 19 Oktober 2015: Dana sebesar Rp 484.002.401 dicairkan untuk bidang tanah seluas 11.817 m². Kemudian 7 September 2023 sebesar Rp 274.638.598 kembali dicairkan untuk bidang tanah dengan luas 1.451 m².

Hatab mempertanyakan keberanian PN Sumbawa mencairkan dana pada 2015, sementara penetapan konsinyasi secara resmi baru dikeluarkan pada 2016 melalui putusan No. 4/PDT.P.KONS/2016/PN.Sbw. “Kami menduga PN Sumbawa jadi sarang jual-beli hukum oleh oknum hakim. Ini tidak bisa dibiarkan,” tegas Hatab.

Sengketa SHM 507: Klaim Dinilai Tak Berdasar

Selain konsinyasi, audiensi juga membahas sengketa atas bidang tanah SHM 507 yang diklaim oleh Ali Bin Dahlan (Ali BD). Menurut Hatab, lokasi tanah yang diklaim Ali BD tidak sesuai dengan kondisi dan fakta yuridis. “SHM 507 berbatasan dengan laut di sebelah barat, bukan utara seperti yang diklaim. Klaim tersebut tidak berdasar,” jelasnya.

Hatab menegaskan bahwa tujuh sertifikat tanah milik Sri Marjuni Gaeta—SHM No. 11180, 1181, 1178, 1179, 1184, 1188, dan 1949—sudah sesuai dengan data dari Kementerian ATR/BPN melalui aplikasi Sentuh Tanahku, termasuk rekonstruksi batas yang dilakukan pada 2014.

Sementara itu, kuasa hukum Sri Marjuni, Abdul Hafiz, menyebut SHM 507 milik Ali BD hanya memiliki buku tanah tanpa warkah, bahkan tidak pernah dilakukan rekonstruksi batas.

“Anehnya, BPN Sumbawa tetap mengakui SHM 507 sebagai produk resmi, padahal tidak ada dasar hukum yang jelas,” kata Hafiz.

Karenanya Ia mendesak DPR RI dan Kementerian ATR/BPN untuk segera mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum dan praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat dalam proses pembangunan proyek strategis nasional tersebut. (SR)

AMNT pilkada NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *