MATARAM, samawarea.com (27 April 2025) – Putusan Pengadilan Negeri Mataram yang mengabulkan permohonan praperadilan Ang San San dan Veronica, serta membatalkan status tersangka atas dugaan memasukkan keterangan palsu dalam akta CV. Sumber Elektronik, mengecewakan pelapor, Ita Yuliana.
Pasalnya, dalam amar putusan, pertimbangan hakim menyatakan bahwa laporan tersebut lebih tepat diselesaikan dalam ranah perdata, bukan pidana.
Didampingi konsultan hukumnya, Ita menyayangkan putusan praperadilan yang dinilai tidak mempertimbangkan substansi dugaan tindak pidana secara menyeluruh.
“Pembatalan status tersangka dalam praperadilan hanya menguji aspek formal prosedural, bukan membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana. Jadi, putusan hakim kami nilai lucu, tidak adil dan mengecewakan,” tukasnya.
Polres Mataram sebagai pihak termohon saat ini dikabarkan tengah melakukan kajian internal terhadap kemungkinan upaya hukum lanjutan yang tersedia, termasuk permintaan supervisi atau mekanisme pengawasan lainnya dalam koridor hukum acara pidana, mengingat putusan praperadilan secara doktrinal bersifat final dan tidak dapat diajukan banding.
Kasus ini bermula dari laporan Ita yang menuding Ang San San dan anaknya, Veronica, melakukan pemalsuan akta CV. Sumber Elektronik setelah kematian almarhum Slamet Riady Kuanatana—paman kandung Ita Yuliana. Ita menilai akta perubahan yang dibuat setelah Slamet wafat tidak mencerminkan fakta hukum yang sebenarnya. Lebih jauh, akta itu disebut sebagai pintu masuk penguasaan aset-aset milik almarhum.
Di sisi lain, kekecewaan Ita juga dipicu oleh fakta bahwa sebelumnya, ibunya—Lusy, pernah menjadi tersangka dalam kasus laporan Ang San San dengan objek yang sama yaitu CV. Sumber Elektronik dan telah menjalani proses hukum hingga selesai.
Kini, saat giliran Ita menempuh jalur hukum, justru dihentikan lewat praperadilan karena pertimbangan lebih ke arah perdata, lalu bagaimana dengan Nyonya Lusy dulu? Itu juga jelas adalah perdata bukan pidana.
“Ini tentang keadilan yang seimbang, bukan sekadar menang atau kalah. Kami tidak mencari balas dendam, tapi berharap hukum tidak tajam ke satu sisi dan tumpul ke sisi lain,” ujarnya.
Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana perkara waris yang dahulu seharusnya diselesaikan dalam ruang perdata, kerap kali merembet ke ranah pidana. Hal ini menurut pengamat hukum menjadi catatan penting agar Aparat Penegak Hukum lebih berhati-hati membedakan antara persoalan keperdataan dan pidana murni.
“Ketika langkah-langkah hukum seolah tidak berimbang, maka yang tersisa hanyalah harapan agar hukum tak hanya menjadi alat prosedural, tapi juga ruang keadilan yang sejati bagi mereka yang bersuara demi kebenaran,” tandas Ita yang mengutip pandangan William Scott: “Justice should not only be done but should manifestly and undoubtedly be seen to be done.” (SR)