MELAWAN KETIDAKADILAN DAN KEZALIMAN DALAM KASUS PIDANA YANG SEHARUSNYA PERKARA PEDATA

oleh -437 Dilihat

Oleh : NYONYA LUSY DKK

Keadilan adalah hak fundamental setiap manusia namun dalam pratiknya sering kali hukum disalah gunakan untuk kepentingan tertentu, mengorbankan hak individu yang seharusnya dilindungi, kasus Nyonya Lusy ini adalah contoh nyata dimana aspek perdata lebih dominan tetapi dipaksakan masuk ke ranah pidana. Ketidakadilan bukan sekedar luka yang terasa sesaat tetapi jejak yang membekas dalam perjalanan hidup seseorang, ada kalanya hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan justru menjadi pedang yang menebas tanpa pertimbangan keutuhan atau esensi dan nilai dari sebuah kebenaran, demikianlah yang terjadi dalam perkara yang telah diputus ini, dimana Nyonya Lusy telah bebas dari eksekusi putusan tetapi masih meninggalkan tanda tanya besar akan bentuk keadilan
yang sebenarnya.

Kasus ini berakar pada persolan harta bersama yang dalam hukum lebih banyak bersinggungan dengan aspek perdata ketimbang pidana, namun yang terjadi justru sebaliknya proses hukum yang dijalankan lebih menitikberatkan pada unsur pidana penggelapan meskipun Nyonya Lusy mengelola harta tersebut dengan dasar hubungan keluarga (saudara kandung) yang sah, Nyonya Lusy menjadi korban kriminalisasi akibat laporan dari mantan iparnya yang seharusnya jika memang ada sengketa terkait harta bersama diselesaikan dahulu jalur perdatanya, bukan dengan menghukum Nyonya Lusy sebagai seorang pelaku kejahatan.

Perkara ini bukan sekedar soal hukum semata tetapi soal prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi, ketika aspek perdata lebih dominan dalam suatu perkara namun dipaksakan masuk ke ranah pidana maka patut untuk dipertanyakan, Apakah hukum benar-benar ditegakkan dengan adil ataukah kepentingan lain yang bermain dibaliknya?. Dan kini setelah Nyonya Lusy bebas saatnya mencari kembali kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya, bukan untuk membalas dendam tetapi untuk mengembalikan marwah dan wajah keadilan yang telah ternoda oleh kepentingan sebab jika kezaliman dibiarkan tanpa perlawanan hanya akan membuka jalan ketidakadilan yang berikutnya terhadap masyarakat lainnya sebagai pencari keadilan ditengah koneksitas hukum pidana yang seharusnya perdata.

Untuk diketahui Nyonya Lusy telah menjalani hukuman atas penggelapan yang seharusnya dikategorikan sebagai perkara perdata karena menyangkut pengelolaan harta bersama, harta tersebut dikelola oleh Nyonya Lusy setelah saudara kandungnya yang bernama Slamet Riady Kuantanaya meninggal dunia tanpa memiliki anak keturunan, sementara pengelolaan tersebut dilakukan oleh Nyonya Lusy karena masih ada tanggungan hutang bank dari Slamet Riady Kuantanaya di Bank BNI Cabang Sumbawa sebesar kurang lebih 1.4 Milyar Ripiah.

Kasus ini bermula dari laporan Polisi mantan iparnya yang bernama Ang San San pada tahun 2021 namun anehnya penetapan Nyonya Lusy sebagai Tersangka pada tahun 2023, jelas sekali terlihat adanya indikasi bahwa perkara ini bentuk kriminalisasi hukum perdata yang bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku. Bahwa jika melihat kasus ini secara utuh seharusnya Hakim pada tingkat pertama lebih adil dan bijaksana dalam menerapkan asas Prejudicie Geschil yaitu prinsip hukum yang mengutamakan penyelesaian perkara perdata terlebih dahulu sebelum perkara pidananya diproses dan di sidangkan,

Kasus ini sangat relevan diterapkan dalam kasus ini karena akar permasalahan sebenarnya adalah Sengeketa Kepemilikan atau Pengelolaan Harta Bersama” Yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum perdata bukan langsung dikriminalisasi dengan delik penggelapan. Namun dalam realitas yang terjadi Hakim Tingkat Pertama tidak menerapkan asas ini dengan cermat dan malah langsung mengadili perkara dalam perspektif pidana, padahal jika asas Prejudicie geschil diterapkan maka Hakim seharusnya menunda atau bahkan menghentikan
pemeriksaan perkara pidana sampai ada kepastian hukum terkait status kepemilikan harta dalam ranah perdata.

Sungguh keputusan ini merupakan sikap tergesa-gesa dalam mengkriminalisasi Terpidana (Nyonya Lusy) telah menimbulkan dampak hukum yang serius bukan hanya bagi Terpidana tetapi juga bagi makna keadilan itu sendiri, seseorang yang seharusnya mendapatkan perlinungan hukum justru dikorbankan oleh kekeliruan dalam menerapkan asas hukum yang fundamental, oleh karena itu perkara ini menjadi cerminan penting bahwa dalam system peradilan Hakim dituntut untuk lebih cermat, adil, dan bijaksana dalam menilai dan menimbang suatu perkara terutama yang memiliki unsur perdata dominan, karena keadilan bukan hanya tentang menegakkan hukum secara kaku tetapi tentang memastikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan dengan benar sesuai dari hakikat keadilan itu sendiri.

Selain kesalahan dalam penerapan asas Prejudicie geschil perkara ini juga diwarnai oleh berbagai kejanggalan dalam proses hukumnya baik di tingkat Penyidikan maupun tahan penuntutan oleh JPU, salah satu indikasinya yang kuat adalah rekayasa hukum dalam kasus ini adalah tentang waktu yang mencurigakan antara laporan yang dibuat tahun
2021 namun penetapan Tersangka pada tahun pertengahan tahun 2023 , sebuah jeda waktu yang tidak wajar jika benar-benar ada unsur pidana yang jelas dan memenuhi unsur lex certa dlam hukum pidana.

Rentang waktu yang panjang ini justru menunjukkan adanya unsur ketidakmurnian dalam penanganan perkara, yang seolah-olah kasus ini adalah “ Kue Pesanan” dari sebuah kepentingan yang dipaksakan untuk menyeret area perdata masuk kedalam area mistic pidana, hal ini diperkuat dengan fakta bahwa kasus ini berkaitan dengan sengketa harta bersama yang seharusnya lebih tepat diselesaikan melalui jalur perdata, dan jika nanti setelah harta bersama diputus dan kedua belah pihak mendapatkan bagian hak masing-masing, yang kemudian salah satu pihak tidak mau menyerahkan bagian salah satu pihak maka barulah unsur penggelapan tersebut terpenuhi dalam kasus pidana.

Baca Juga  Apresiasi dari KONI Sumbawa, Atlet PON Aceh-Sumut Dapat Uang dan Menginap di Hotel

Lebih jauh cara Aparat Penegak Hukum dalam memproses perkara ini patut dipertanyakan yaitu dengan penetapan Tersangka yang tertunda begitu lama sehingga timbul adanya dugaan tekanan atau kepentingan tertentu yang memaksa perkara ini diproses sebagai tindak pidana, harusnya Penyidik maupun JPU memiliki independensi dalam menilai suatu perkara bukan justru mengikuti kehendak pihak yang memiliki kepentingan untuk menghukum seseorang dengan alasan yang tidak berdasar secara hukum, kejanggalan ini sebagai bukti bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat
kriminalisasi terlebih lagi dalam perkara ini yang lebih kental nuansa perdatanya, jika Para APH tidak objektif dan sengaja membiarkan praktik pemidanaan terhadap perkara perdata akan terus terjadi selama ada kepentingan yang dititipkan, maka oleh karena itu keadilan hanya akan menjadi ilusi bagi mereka yang mencari cerahnya perlindungan hukum di Indonesia.

Selanjutnya penyelesaian perdata harus lebih diutamakan sebelum aspek pidana diberlakukan sebab tanpa adanya putusan perdata yang jelas mengenai hak masing-masing pihak baik Nyonya Lusy DKK maupun Ang San San (Pelapor) tidak dapat ditentukan secara adil siapa yang lebih berhak atas harta yang dipermasalahkan, dengan kata lain penyelesaian perdata akan menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran sejati dalam perkara ini.

Jika aspek perdata tidak dituntaskan terlebih dahulu maka setiap tindakan hukum pidana yang dilakukan dapat dianggap premature dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi yang tidak adil, dan seharusnya sebelum Nyonya Lusy di proses secara pidana Pengadilan terlebih dahulu memastikan status kepemilikian dan hak waris atas harta bersama yang menjadi objek laporan Pelapor, Dan jika Nyonya Lusy Dkk jelas terbukti memiliki hak atas harta yang dikelola (harta peninggalan saudara kandungnya (Slamet Riady Kuantanaya) maka jelas pula unsur penggelapan dalam hukum pidana otomatis gugur, sebaliknya jika ada hak-hak pihak lain yang dilanggar maka penyelesaiannya harus melalui rel perdata bukan serta merta menjadikan permasalahan ini sebagai warung pojokan kopi dalam tindak pidana. Dengan demikian prinsip prejudicie geschil harus ditegakkan secara konsisten sebab tanpa adanya kepastian dalam perkara perdata, pemidanaan dalam kasus ini tidak hanya mencederai keadilam tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan preseden buruk dalam system hukum kita, dimana perkara perdata dapat dengan mudah dipaksakan masuk ke ranah pidana demi kepentingan pihak tertentu.

Setelah Nyonya Lusy menjalani hukuman atas perkara yang penuh kejanggalan ini, kini saatnya berupaya untuk mencari titik atau sumber cahaya terang dari keadilan atas haknya sebagai saudara kandung dari Almarhum Slamet Riady Kuantanaya yang telah meninggalkan harta sekaligus beban hutang, hal ini bukan hanya soal kepemilikan namun juga soal tanggung jawan moral dan hukum yang selama ini diabaikan dalam proses pidana yang dijalaninya, fakta penting yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam perkara ini adalah adanya hutang atau pinjaman
almarhum pada Bank BNI Cab. Sumbawa sebesar Rp. 1.4 Milyar bahkan lebih jika dihitung dari bunga keterlambatan, hutang ini menjadi faktor utama yang mendasari tindakan Nyonya Lusy mengelola Toko Sumber Elektronik yang justru kemudian dijadikan dasar laporan pidana penggelapan oleh Pelapor, padahal dalam hukum waris dan perdata pihak keluarga yang masih hidup, khususya saudara kandung memiliki hak dan kewajiban dalam mengelola serta menyelesaikan permasalahan asset dan hutang yang ditinggalkan oleh almarhum Slamet Riady
Kuantanaya, keputusan Nyonya Lusy untuk mengelola Toko Sumber Elektronik bukanlah bentuk penggelapan melainkan upaya mempertahankan asset yang pada dasarnya masih berkaitan dengan tanggung jawab keluarga atas hutang almarhum, jika benar ada sengketa terkait pengelolaan ini maka penyelesaiannya adalah jalur perdata bukan
dengan memaksakan pemidanaan.

Setelah Nyonya Lusy menjalani hukuman keadilan sejati belum sepenuhnya ditegakkan karena ada hak yang masih perlu diperjuangkan, ada kejelasan hukum yang harus ditegaskan agar tidak ada lagi penyalahgunaan hukum yang menjadikan perkara perdata sebagai alat kriminalisasi, upaya Nyonya Lusy menemukan titik temu dalam perkara ini
bukanlah sekedar pembelaan dan pembenaran diri semata namun untuk memastikan bahwa hukum benar-benar berpihak pada keadilan bukan sekedar formalitas yang bisa dipermainkan oleh kepentingan-kepentingan satu pihak saja.

Andaikan Almarhum Slamet Riady Kuantanaya memiliki anak/keturunan tentu situasinya akan berbeda, dalam kondisi demikian Nyonya Lusy tidak akan ikut mengelola Toko Sumber Elektronik tersebut karena secara hukum dan moral ahliwaris langsung dari Almarhum lah yang memiliki hak utama atas asset yang ditinggalkan, namun pada kenyataannya adalah Almarhum tidak memiliki anak keturunan selama terikat pernikahan dengan Pelapor, sehingga Nyonya Lusy sebagai saudara kandung memiliki kepentingan langsung baik dalam menjaga asset maupun
menyelesaikan kewajiban hutang yang ditinggalkan almarhum.

Baca Juga  Matangkan Persiapan PON 2028, KONI dan Pemda Sumbawa Bertemu KONI NTB

Dalam hal pengelolaan Toko Sumber Elektronik oleh Nyonya Lusy bukanlah tindakan yang berdiri sendiri tanpa alasan karena jika toko tersebut dibiarkan tanpa pengelolaan bukan hanya asset yang bisa hilang namun juga tanggungan hutang yang semakin membebani keluarga yang masih hidup, namun ironisnya niat baik ini justru diputar balikkan menjadi tuduhan keji yaitu penggelapan yang seharusnya difahami bahwa penyelesaian warisan atau harta bersama dan hutang lebih tepat melalui jalur perdata, kasus ini semakin menunjukkan bahwa hukum harus ditegakkan dengan mempertimbangkan keadilan substansial bukan hanya formalitas belaka,

Karena itu karena itu Nyonya Lusy setelah menjalani hukuman yang tidak seharusnya kini saatnya bagi Nyonya Lusy memperjuangkan haknya yang sebenarnya agar keadilan yang sejati dapat ditegakkan. Dalam persidangan dengan agenda saksi Nyonya Lusy menghadirkan dua orang saksi nasional yaitu : Dr. Habib Adjie, SH,.MH (Ahli Kasus Perdata/Kenoktariatan) dan Prof. Dr. Muzakkir, SH,.M.Hum (Ahli Pidana) dengan jelas menerangkan bahwa apa yang Nyonya Lusy lakukan adalah sah menurut hukum perdata dan bukan merupakan tindak pidana.

Namun hakim tetap mengabaikan kedua pendapat ahli hukum nasional yang kredibel tersebut dan justru lebih mengakomodir pendapat ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang didukung oleh Ang San San. sehingga adagium hukum tentang satu saksi bukanlah saksi (Unus Testis Nullus Testis) adalah kecacatan yang nyata karena ironisnya dua saksi ahli Nasional yang diajukan oleh Nyonya Lusy diabaikan sedangkan pendapat satu pihak yang berpihak justru dijadikan dasar pertimbangan, Pernyatan kedua saksi ahlin ini juga semakin menguatkan bahwa kasus ini seharusnya diselesaikan dalam mekanisme hukum perdata yang terlebih dahulu untuk menentukan hak dan kewajiban masing-masing atas asset yang disengketakan, jika aspek perdata belum tuntas maka tidak seharusnya ada kriminalisasi yang merugikan salah satu pihak.

Namun sangat di sayangkan pendapat hukum kedua ahli ini diabaikan dalam putusan pengadilan, hal ini semakin menunjukkan adanya indikasi bahwa proses hukum perkara ini berjalan dengan kejanggalan yang nyata, dengan demikian setelah menjalani hukuman Nyonya Lusy berhak untuk mencari dan mendapatkan keadilan yang sesungguhnya karena hukum yang ideal tidak hanya sekedar menerapkan pasal-pasal tetapi juga memastikan bahwa hukum ditegakkan sesuai dengan substansi kebenaran dan keadilan.

Dalam perkara ini jelas menunjukkan bahwa adanya kesalahan dan kekeliruan dalam penerapan hukum, dimana sengketa yang sebenarnya berada dalam ranah perdata yang dipaksakan masuk kedalam ranah pidana, hal ini tentu sangat bertentangan dengan asas-asas hukum yang mengatur perbedaan antara kewajiban perdata dan pertanggung jawaban dalam pidana yaitu :

> Dalam perdata berkaitan hak-hak individu atau badan hukum yang bersifat privat salah satunya adalah waris dan kepemilikan harta benda dan mekanisme penyelesaiannya melalui gugatan perdata di pengadilan.
> Sedangkan dalam pidana menyangkut kepentingan umum dan bertujuan untuk memberikan sanksi atas tindakan yang dianggap melanggar hukum dan membahayakan masyarakat secara luas.

Dalam kasus Nyonya Lusy ini erat kaitannya dengan pengelolaan harta bersama (harta peninggalan Almarhum Slamet Riady Kuantanaya) dan penyelesian hutang bank jadi jelas merupakan persoalan perdata bukan
tindak pidana.

Penerapan dan prinsip asas Prejudicie Geschil sangat jelas mengatur jika suatu perkara yang memiliki aspek perdata dan pidana maka penyelesaian perdata harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menentukan ada atau tidaknya unsur pidana sebagaimana Pasal 81 KUHAP, Peraturan MARI No. 1 Tahun 1956, dan dalam kasus ini pengabaian terhadap asas ini menjadi kesalahan mendasar untuk mengetahui siapa yang berhak dan bagian masing-masing pihak sebelum pidana diputus.

Dalam perkara ini terlihat jelas Kriminalisasi terhadap sengketa perdata yaitu berupa pemaksaan perkara perdata menjadi pidana yang bertentangan dengan prinsip hukum pidana itu sendiri dimana unsur Pasal 372 KUHP tidak terpenuhi jika objek sengketa yang di kelola oleh Terdakwa masih menjadi sengketa hak kepemilikan, begitu juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 20/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap sengketa perdata tidak dapat dibenarkan, selain itu juga sesuai Surat Edaran MARI (SEMA) No. 4 tahun 2016 menegaskan bahwa APH harus berhati-hati dalam menangani perkara perdata yang dipaksakan ke ranah pidana.

Kasus ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak, terutama sekali masyarakat umum, APH, JPU, Hakim agar tidak terjadi lagi kriminalisasi terhadap perkara perdata karena hukum yang terlalu kaku justru dapat menghasilkan ketidak adilan (Summum ius, summa iniuria), dan sebagai akhir atau kesimpulannya bahwa kasus ini bukan hanya tentang seseorang yang telah menjalani hukuman tetapi juga tentang kegagalan system hukum
dalam membedakan perkara perdata dan pidana karena hukum yang tidak adil bukanlah hukum (lex iniusta no est lex) keadilan hukum yang sejati harus ditegakkan agar hukum tetap menjadi pelindung bukan alat penindasan. (*)

rokok pilkada NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *