Catatan Kritis Awal Tahun: Reformasi Birokrasi VS Fragmentasi Birokrasi

oleh -434 Dilihat

Oleh: Heri Kurniawansyah HS (Dosen Fisipol UNSA) 

          Menyoroti perihal birokrasi secara kelembagaan tidak akan ada habisnya sepanjang perjalanan hidup manusia itu sendiri, sebab kebutuhan manusia selama hidup di dalam yang namanya “negara” tidak akan pernah lepas dari birokrasi (Osborne, 2005), sehingga birokrasi harus bisa memposisikan dirinya sesuai dengan perkembangan fenomena sosial manusia itu sendiri (Thoha, 2005).

Gambar :Disparitas PerubahanSosialMasyarakatdenganPerkembanganBirokrasi

 

Sumber :AnalisisPenulis

 

rokok

Berbagai studi dan teori secara dinamis membahas berbagai segmen birokrasi beserta perangkatnya, utamanya secara khusus mengupas secara mendalam tentang fungsi pelayanan yang terus menuai kejanggalan pun belum menemukan formulasi yang paling ideal dalam menyelesaikan berbagai persoalan birokrasi di Indonesia.

Meskipun gerakan-gerakan strategis yang dilakukan melalui berbagai lembaga dan orang-orang baru di dalamnya pun belum mampu menggeser persepsi publik tentang birokrasi, bahkanmeskipun telah berganti presiden sekalipun.Masuknya polarisasi otonomi daerah yang memberikan kebebasan wewenang pada pemerintah untuk membentuk lembaga-lembaga baru yang dimaksudkan untuk menguatkan reformasi birokrasi dalam rangka menuntaskan berbagai persoalan publik agar lebih fokus pun belum memberikan hasil yang menggembirakan, bahkan justru menambah kerumitan pelayanan kepada masyarakat (Dwiyanto, 2016). Padahal kemajuan teknologi saat ini harusnya menjadikan reformasi birokrasi berubah secara akseleratif. Lalu bagaiamana analisis penulis dari perspektif lain yang menjadi determinasi lambatnya reformasi birokrasi di era modern saat ini, sehingga meritokrasi dan one stop service sulit dilakukan. Analisis ini akan menjadi catatan kritis akhir tahun 2019 bagi penulis dalam memperbaiki pola reformasi birokrasi kedepannya.

Maksudnya Reformasi Birokrasi, Tapi Praktiknya Fragmentasi Wewenang

            Sikap reaktif pemerintah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan publik melalui pembentukan lembaga-lembaga baru dan perubahan nomenklatur berbagai institusi sebagai bagian dari ikhtiar dalam melaksanakan prinsip-prinsip reformasi birokrasi yang responsif dan akomodatif patut diapresiasi secara bersama-sama. Niat itu dihajatkan untuk merubah budaya konservatisme dalam birokrasi yang telah mengakar selama ini. Namun rupanya analisisis kebijakan yang dilakukandalam membentuk keputusan baruternyata tidak tuntas, sehingga keputusan yang diambil untuk membentuk berbagai institusi baru dalam pemerintah perlu dilakukan re-analisis yang lebih mapan.

Faktanya, ternyata pemerintah telah terjebak pada organisasi bertujuan tunggal (one purpose organization), yaitu sebuah konsep yang mengajarkan bahwa untuk tujuan dan fungsi tertentu seharusnya dibentuk organisasi tertentu pula. Semakin banyak masalah publik, semakin banyak lembaga yang dibentuk. Fenomena ini mulai marak terjadi semenjak era presiden SBY dan Jokowi, sebab di era mereka otonomi daerah mulai dipraktekkan secara konsitusional. Sebagai contoh konkritnya adalah bagaimana pemerintahan Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut, dimana badan tersebut dibentuk ditengah carut marut kementerian dan lembaga yang selama ini berperan dalam pengelolaan lahan gambut. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa ketika ada satu masalah baru, pemerintah cenderung membentuk lembaga baru tanpa menata kembali kementrian atau lembaga yang ada. Situasi ini akan menjadikan praktek birokrasi justru semakin rumit dan mahal, serta akan membentuk ego sektoral yang kuat, sementara pada saat yang sama misi reformasi birokrasi itu sendiri ingin memerangi hal tersebut.

Baca Juga  Bendung Orong Brang Jebol, 250 Hektar Sawah Terancam Gagal Panen

Di satu sisi, dengan dibentuknya lembaga-lembaga baru tanpa menata lembaga atau kementrian yang ada akan membuat setiap lembaga merasa memiliki wewenang dalam menyelesaikan satu masalah, inilah yang disebut dengan fragmentasi wewenang. Di Indonesia, fragmentasi wewenang ini sudah masuk pada titik yang sangat ekstrim. Bayangkan, pada urusan tertentu, untuk penyelenggaraan satu urusan, harus ada puluhan instansi yang terlibat dan berebut wewenang. Gambaran tersebut menunjukan bahwa di negeri ini tidak ada satu fungsi pemerintah yang kewenangannya ada di tangan satu satuan birokrasi. Akibatnya keborosan melakukan kordinasi menjadi tak terhindarkan. Contoh kasus terhadap buruknya keborosan melakukan kordinasi adalah betapa mahalnya biaya perjalanan dinas seorang presiden, rapat di luar kantor, dan biaya-biaya lainnyayang mencapai 40 Triliyun pada masa transisi pemerintah Jokowi – JK (Tempo.com, 2015). Mengapa biaya tersebut begitu fantastis?, jawabannya adalah karena kebutuhan melakukan kordinasi terlalu tinggi., dimana pemerintah perlu melakukan kordinasi untuk memastikan programnya berjalan dengan baik, sementara letak mereka melakukan kordinasi itu ke berbagai instansi yang dirasa memiliki wewenang terhadap program yang dimaksud.

Mengapa itu dilakukan?, sederhananya adalah ketika satu kegiatan dilaksanakan oleh banyak instansi, maka mereka sangat perlu menyamakan persepsi, menyepakati, dan berembuk bersama mengenai bagaimana masing-masing program dan proyek dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih, apalagi jika program-program tersebut melibatkan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, maka kordinasinya semakin kompleks. Tidak hanya kordinasi yang dilakukan, namun juga pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program tersebut juga harus dilakukan, akibatnya biaya transaksi dalam pelaksanaan fungsi pemerintah menjadi sangat mahal dan boros.Selain itu, sumber daya menjadi tidak bisa dimanfaatkan secara optimal, karena adanya keterbatasan wewenang yang ada pada diri mereka yang terbagi ke lembaga-lembaga lain, pada saat yang sama fragmentasi akan membentuk mentalitas sektoral (ego sektoral) yang merasa dirinya paling berhak dalam menyelesaikan suatu masalah. Situasi tersebut akan menyebabkan konflik antar lembaga menjadi tak terbendung (lihat konflik Kementan dan Bulog, lihat konflik Polri dan KPK, lihat tumpang tindih BPS dan Catatan Sipil, dan lain lain), sehingga polarisasi ini akan menyebabkan sulitnya terjadi integrated governance dalam sektor publik.

Baca Juga  Tingkatkan Layanan Telekomunikasi, Bupati Surati Operator dan Kementerian

Tentu jika hal tersebut dibiarkan berjalan begitu saja, maka apapaun model reformasi birokrasi yang diterapkan tetap saja akan menuai kegagalan. Satu-satunya jalan dalam mengeliminasi fragmentasi wewenang ini adalah dengan melakukan konsolidasi wewenang sehingga struktur lembaga pemerintah dapat disederhanakan sambil menata lembaga-lembaga yang sudah ada. Resources yang memadai dan moderninasi teknologi komunikasi adalah input terbaik yang bisa menjadi pendorong untuk dilakukan penyederhanaan struktur pemerintah agar pemerintah tidak lagi berebut wewenang hanya untuk menuntaskan satu masalah saja, akibatnya responsif kepada urusan publik menjadi sangat lamban oleh sebab mereka hanya memiliki secuil wewenang, sementara secuil wewenang lainnya ada di beberapa lembaga lainnya, sehingga pelayanan terpadu (one stop service) yang diimpikan selama ini dalam reformasi birokrasi menjadi sangat sulit dikembangkan.

Tahun 2020 adalah langkah yang telah dibuka secara lebar oleh presiden melalui pidato pelantikannya beberapa bulan yang lalu, yang salah satu substansinya adalah “penyederhanaan birokrasi, penyederhanaan prosedur dan struktur birokrasi”. Maka lima tahun mendatang akan menjadi wilayah pembuktian seorang Jokowi untuk mampu menjalankan roda reformasi birokrasi sesuai dengan isi khutbahnya di berbagai tempat. Jika itu gagal dilakukan, maka terang aja Jokowi telah gagal menyisahkan legacyyangmonumental dalam urusan reformasi birokrasi dan tata kelola (goverance). Pada akhirnya fragmentasi itu lebih subur atas nama reformasi birokrasi, padahal fragmentasi adalah sesungguhnya benalu dalam birokrasi. (*)

rokok pilkada mahkota NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *