AMSA Dukung Pemerintah Hentikan Kontrak Dengan Freeport

oleh -86 Dilihat

Oleh: Sarief Saefulloh (Vice President AMSA/Asian Muslim Students Association)

Keberadaan PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak berdampak besar pada ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Padahal kurang lebih 25 tahun sumber daya alam banyak dimanfaatkan Freeport tapi nilai manfaat terhadap bangsa dan negara tidak sebanding dengan keutungan yang di dapatkannya. Negara tidak boleh membiarkan hal ini terjadi lagi dan tidak ada bahasa korporasi itu otonom. Kedepan pengawasaan, penegakan hukum hingga pemberhentian kontrak harus berani dilakukan, karena negaralah pemilik kekayaan alam Indonesia.

PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan tambang amerika yang berafiliasi pada Freeport-McMoran, telah berada di Indonesia sejak tahun 1967 silam masa orde baru (pemerintahan Presiden Soeharto). Era inilah menjadi awal ditanda-tanganinya Kontrak Karya dan terakhir Januari 2017 lalu. Pemerintahan Jokowi melangkah cepat untuk meniadakan Kontrak Karya dengan adanya perubahan peraturan pemerintah yang lebih konsitutif dan menguntungkan negara yaitu terbitnya PP No. 1 Tahun 2017 yang memberikan penguasaan, pengelolaan dan pengaturan oleh negara terhadap kekayaan Indonesia.

Peraturan Pemerintah ini menuai kritik dan kecaman dari Freeport, yang dinilai bertentangan dengan Kontrak Karya yang berakhir hingga 2021. Freeport menganggap dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 merugikan Freepot sebagai perusahaan tambang, seperti pajak yang prevailing, divestasi saham 51 persen dimiliki pemerintah, posisi pemerintah dan korporasi berbeda (pemerintah sebagai pemberi ijin dan Freeport pemegang ijin), Pembangunan Smelter, Pemerintah mengatur tentang harga patokan penjualan mineral dan batubara, Freepot pun mengancam akan memperkarakan perubahan ini ke Mahkamah Arbitrase International. “Freeport tidak tahu diri dan tidak punya malu, sudah melanggar hukum, merugikan negara mengancam pula” pemerintah harus berani memberhentikan kontrak dengan Freeport, ini bukan masalah sepele ini masalah kedaulatan bangsa”

Baca Juga  Sukseskan Pemilu 2024, Kodim 1607/Sumbawa Gelar Pasukan dan Alutsista

Perusahaan tambang asal Amerika ini menginginkan tetap memakai Kontrak Karya sebagai acuan dan aturan bisnis kedua belah pihak. Memang dalam Kontrak Karya posisi antara pemerintah dan Freeport seimbang, pajak nail down dan lain-lain, aturan ini banyak menguntungkan Freepot dan merugikan Pemerintah. Dalam regulasi pemerintah tidak diuntungkan bahkan banyak terjadinya wanprestasi oleh Freeport dalam Kontrak Karya. Seperti pembangunan smelter sampai sekarang tidak rampung, apalagi beroperasi, saham kepemilikan negara hanya 9,3 persen, pajak nail down (tidak berubah sampai KK selesai), retribusi kepada negara Rp 8 Triliun pertahun berbeda jauh dengan Telkom sebesar Rp 20 Triliun, cukai rokok Rp 139 Triliun. Jelaslah negara banyak dirugikan dengan adanya Kontrak Karya. Sebagai perusahaan tambang sepatutnya Freeport mengikuti regulasi yang ada bukan mendikte kedaulatan negara.

Baca Juga  APBD Perubahan Sumbawa 2021 Diketok !

Untuk itu, AMSA (Asian Muslim Students Association) sebagai organisasi yang peduli terhadap bangsa dan negara menilai kebijakan pemerintah sudah tepat dalam pemberlakuan PP No. 1 Tahun 2017 terhadap Freeport dan tidak usah ada perundingan kembali, karena posisi negara bukan berbisnis tapi pemilik bisnis, bukan mencari untung tapi pemilik keuntungan, maka siapapun yang mau berbisnis di negeri ini harus mematuhi hukum yang berlaku, jika tidak mau dipersilahkan untuk keluar dari negeri ini.

Sebagai negara berdaulat, pemerintah harus berani memberhentikan korporasi yang merugikan dan tidak mentaati aturan hukum negara. Dengan adanya Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2017 memberikan ruang cukup luas untuk negara dalam menguasai kekayaan alam Indonesia. Sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menjelaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jelas dan tegas tidak ada alasan pemerintah untuk tidak melaksanakan amanat konsitusi sebagai hukum tertinggi. (*)

rokok pilkada mahkota NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *