“Seminar Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat Menyongsong Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2018”
SUMBAWA BESAR, SR (23/12/2016)
Masyarakat selaku pemilih cenderung menggunakan cara pragmatis dalam memilih pemimpinnya. Para pemilih tak lagi berbasis pada kriteria-kriteria yang dirasa layak, sebagaimana kriteria demokrasi seperti mampu berbuat adil, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan lainnya. Pemilih lebih didasarkan pada transaksi material yang diterima sebelum memilih. Pemilih pragmatis ini merupakan gejala buruk dari demokrasi lokal saat ini. Demikian diungkapkan Ardiansyah S.IP., M.Si—Dosen Universitas Samawa (UNSA) yang juga pengamat politik saat menjadi pembicara pada Seminar Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat Menyongsong Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2018 di Wisma Daerah. Pada seminar yang digelar KPU Sumbawa, Kamis (22/12) kemarin, Ardiansyah menyampaikan materi tentang “Tantangan Pemilih dalam Menyikapi Nepotisme Elektoral”.
Sekarang ini ungkap Ardiansyah, orang sudah membuat suatu asumsi, ketika demokrasi tidak lagi diletakkan, maka rakyat hanya digunakan sebagai alat untuk dimobilisir ke TPS. Setelah memilih hubungan antara rakyat dengan elit, putus. Dikatakannya, politik uang dalam konteks Pilkada sulit dihindari. Bukan karena rusaknya sistem, tetapi lebih kepada pemilih tidak lagi menganggap janji program sebagai sesuatu yang harus dikedepankan. Tetapi uang menjadi mekanisme di dalam proses partisipasi politik. Hal ini karena janji elit yang tidak pernah dipenuhi alias PHP (Pemberi Harapan Palsu) membuat rakyat memiliki bersikap pragmatis.
Fenomena pemilih pragmatis dapat pula dipahami sebagai bentuk resistensi politik masyarakat pemilih terhadap para aktor politik. Itu merupakan resistensi atas sikap elit yang cenderung tidak memberikan perhatian ketika telah duduk di kursi kekuasaan. Pengalaman menjadi pemilih di tingkat rakyat dirasakan sebagai pengalaman buruk, dijanji lalu tidak ditepati, dan ini berlangsung bertahun-tahun lamanya. “Lebih baik menerima pemberian sesuatu walau bersifat sesaat daripada tidak mendapatkan apa-apa d iesok hari selama lima tahun. Ada uang ada suara. Begitulah persepsi politik yang tumbuh di level bawah,” kata Ardiansyah. Dengan kondisi itu, elit tidak lagi melaksanakan program yang menjadi visi misinya, dan tidak merasa memiliki kewajiban untuk memenuhi harapan masyarakat karena suara sudah dibeli. Prilaku seperti ini lebih menempatkan pemilih menjadi obyek pemilihan daripada subyek pemilihan. Padahal subyek pemilih itu diharapkan menjadi cikal bakal lahirnya pemilih yang cerdas dan rasional.
Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap persoalan ini ? menurut Ardiansyah, adalah pemerintah, partai politik dan semua pihak bagaimana mengikis hadirnya pemilih pragmatis. Sebab hal itu akan berdampak negative terhadap demokratisasi. Tugas mereka adalah melakukan sosialisasi hak-hak politik warga negara kepada masyarakat atau memperluas gerakan pendidikan politik untuk warga. Yang diperluas bukan semata-mata objek pendidikan politiknya, tetapi juga aktor pendidikan politiknya. Sudah saatnya lembaga pendidikan, ormas, LSM, dan organsisasi masyarakat civil lainnya perlu mengambil alih peran pendidikan politik ini. Perlu dibangunkan iklim yang memungkinkan mereka menjalankan pendidikan politik untuk warga. “Point utama gerakan pendidikan politik yang dimaksud adalah pendidikan politik yang bertumpu pada partisipasi politik, bukan pada mobilisasi politik atau partisipasi semata. Pendidikan politik yang tidak semata menekankan kesadaran kritis, tetapi juga kesadaran berpolitik rakyat,” ujarnya.
Upaya lainnya, sambung Dosen Fisipol ini, dibutuhkan komitmen parpol untuk mereformasi pola rekruitmen kader/aktivis politiknya. Secara normatif, rekruitmen politik ini mencakup pemilihan, seleksi, dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Parpol dalam melakukan rekruitmen politik selama ini cenderung pragmatis pula dalam “memilih-menyeleksi-mengangkat” kader politiknya, sehingga politisi yang lahir adalah politisi pragmatis pula. Kecenderungan rekruitmen politik secara pragmatis ini tergambar dari (nyaris) hilangnya kaderisasi politik di internal parpol. Kaderisasi politik sebagai salah satu metode penting rekruitmen politik, kini tergantikan oleh metode “aklamasi” sang ketua umum Parpol bersangkutan. Selain membuahkan politisi pragmatis dan karbitan, tiadanya metode rekruitmen politik yang rasional-demokratis di tubuh parpol juga akan berpotensi melahirkan konflik yang tidak produktif di internal parpol. Dengan demikian, semakin dibutuhkan hadirnya parpol yang mampu melahirkan kader atau politisi yang tidak pragmatis, dan mampu bekerja untuk rakyat. Untuk mewujudkan ini, pola rekruitmen di internal parpol melalui kaderisasi penting dijalankan secara berkelanjutan. (JEN/SR)