SUMBAWA BESAR, (21 Agustus 2025) – Polemik seputar eksistensi hutan adat di wilayah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat kembali mencuat setelah pernyataan dari Ketua Dewan Syara Majelis Adat Lembaga Adat Tana Samawa (LATS), Syukri Rahmat, yang menyebut bahwa tidak ada lagi hutan adat di wilayah tersebut.
Pernyataan tersebut mendapat tanggapan dari Suparjo Rustam, S.H., CMd, CLA, mahasiswa Magister Hukum Universitas Mataram. Dalam keterangannya, dia menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, dan keberadaannya bukan ditentukan oleh Kesultanan Sumbawa maupun LATS.
“Hutan adat itu ada di wilayah masyarakat hukum adat setempat. Bukan di mana-mana, bukan pula di dalam lembaga adat seperti LATS. Yang berhak menyatakan ada atau tidaknya hutan adat adalah masyarakat adat itu sendiri, bukan lembaga non-pemerintah seperti Kesultanan atau LATS,” tegas Jho, sapaan akrabnya.
Ia menambahkan bahwa keberadaan hutan adat telah diakui oleh negara, terlebih setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-IX/2012 yang memperjelas bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan hutan hak milik masyarakat hukum adat.
“Negara melalui pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sudah tegas mengakui dan menghormati eksistensi masyarakat hukum adat, termasuk hak atas hutan adat. Jadi, sudah bukan waktunya lagi mempertanyakan ada atau tidaknya hutan adat, melainkan bagaimana menjalankan mandat konstitusi dan hukum positif,” jelasnya.
Lebih lanjut, Jho menilai pernyataan LATS sebagai bentuk kekeliruan yang tidak berdasar dan bahkan dapat melukai perasaan masyarakat adat yang tengah berjuang mendapatkan pengakuan atas wilayah adat mereka.
“Seharusnya LATS mendorong dan memperkuat masyarakat adat, bukan malah menghambat atau mematahkan semangat mereka. Jangan sampai LATS justru berada dalam posisi yang selalu berbenturan dengan masyarakat adat, seperti yang terjadi dengan Cek Bocek Suku Berco, yang telah memiliki pengakuan melalui Perdes,” tegasnya.
Ia pun menyinggung adanya Peraturan Daerah NTB Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, yang menurutnya dapat menjadi dasar kuat dalam proses pengusulan dan penetapan hutan adat.
“Cukup dengan SK Bupati saja sebenarnya masyarakat hukum adat sudah bisa diakui, sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 52 Tahun 2014. Setelah itu, barulah proses pengusulan hutan adat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dilakukan sesuai mekanisme UU No. 41 Tahun 1999,” jelas Jho.
Ia juga mengapresiasi keberadaan Satgas Hutan Adat di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta peran organisasi seperti AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang turut memperjuangkan pengakuan masyarakat adat secara nasional, termasuk di wilayah NTB.
“Ini langkah maju pasca putusan MK 35. Kriteria hutan adat yang digunakan oleh Satgas Hutan Adat sejalan dengan pemahaman organisasi-organisasi masyarakat adat, termasuk AMAN yang hadir di Sumbawa dan Sumbawa Barat,” ucapnya.
Jho menegaskan bahwa hutan adat bukanlah ranah yang bisa diintervensi oleh lembaga non-pemerintah manapun, termasuk Kesultanan Sumbawa dan LATS.
“Jangan sampai kita justru tunduk pada lembaga-lembaga non-konstitusional. Yang harus kita taati adalah konstitusi dan hukum negara. Jadi, silakan Kesultanan dengan LATS-nya, tapi jangan masuk ke kamar masyarakat adat. Karena masyarakat adat tidak pernah mengurusi Kesultanan,” pungkasnya. (SR)






