MATARAM, samawarea.com (21 April 2025) – Sidang perdana gugatan praperadilan atas penetapan Ang San San dan putrinya, Veronica Anastasya Mercedes, sebagai tersangka, resmi digelar di Pengadilan Negeri Mataram, Senin (21/4). Kedua tersangka menggugat keabsahan status hukumnya melalui kuasa hukum mereka, Emil Zen SH dan tim.
Sementara pihak termohon, Kapolresta Mataram, diwakili oleh Tim Kuasa Khusus Bidang Hukum Polda NTB yang dikomandani AKP Ery Armunanto SH.
Ada dua poin utama yang menjadi dasar gugatan praperadilan tersebut. Pertama, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diterima tersangka lebih dari tujuh hari setelah diterbitkan. Kedua, penetapan tersangka yang dinilai tidak memenuhi syarat dua alat bukti yang cukup.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Tunggal Ida Ayu Masyuni SH MH, pihak pemohon menghadirkan tiga ahli pidana dan perdata dari Universitas Mataram (UNRAM), yakni Nanda Ivan Natsir SH MH, Prof Amiruddin SH M.Hum, dan Prof Dr Jumardin SH MH. Ketiganya memberikan pendapat terkait dugaan pelanggaran prosedur oleh penyidik Polresta Mataram.
Para ahli ini menilai penyidik telah melanggar konstitusi dan cacat prosedur dalam penanganan kasus yang menyebabkan Ang San San dan Veronica menjadi tersangka. SPDP yang diterima tersangka melebihi 7 hari yang secara konstitusi tidak dapat dibenarkan dengan mengutip Putusan MK bahwa SPDP wajib dikirim kepada terlapor atau tersangka. Ketika ada kata “wajib” itu sebuah keharusan. Jika tidak dijalankan maka penyidik melanggar konstitusi.
Para ahli yang dihadirkan di persidangan memberi berbagai argumentasi terkait pendapatnya. Namun yang menarik, ahli pidana Prof Amiruddin yang pendapatnya justru terkesan tidak konsisten dan merugikan pemohon (tersangka), sebaliknya cenderung menguntungkan termohon (polisi).
Dalam keterangannya, Prof Amiruddin yang awalnya berpendapat bahwa apa yang dilakukan penyidik kepolisian dengan mengirim SPDP kepada tersangka melebihi 7 hari adalah kesalahan, justru ‘mematahkan’ argumentasinya sendiri maupun Tim Kuasa Tersangka, sekaligus berbeda pendapat dengan ahli lainnya.
Menurutnya, dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa SPDP ditujukan kepada penuntut umum, bukan secara eksplisit kepada tersangka. Adapun tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kewajiban penyidik mengirim SPDP kepada terlapor dinilai bersifat deklaratori, yang tidak selalu memerlukan tindakan lebih lanjut.
“SPDP adalah sarana komunikasi antara penyidik dan kejaksaan, bukan sebagai hak absolut tersangka. Penafsiran MK itu bersifat deklaratori, bukan perintah eksekutorial,” tegas Prof Amiruddin.
Terkait alat bukti untuk menetapkan tersangka, ia menyatakan secara kuantitas telah memenuhi dua alat bukti, namun kualitasnya menjadi ranah penilaian hakim nantinya.
Pendapat Prof Amiruddin pun memperkuat posisi kepolisian selaku termohon. Tim Kuasa Hukum Polresta Mataram menegaskan bahwa prosedur penyidikan, termasuk penetapan tersangka dan pengiriman SPDP, telah dilakukan sesuai SOP yang berlaku. SPDP juga telah dikirimkan ke kejaksaan dan tembusannya diberikan kepada tersangka melalui aparat RT maupun pengiriman kantor pos, karena tersangka dinilai menghindar dan tidak responsif.
“Dalam kasus dugaan tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, kami bukan hanya memenuhi dua alat bukti yang cukup tapi tiga alat bukti,” ujar AKP Ery Armunanto.
Meski demikian, ia menegaskan belum bisa menyimpulkan hasil akhir dari proses praperadilan.
“Kita ikuti saja proses hukum yang berlaku. Perbedaan pendapat di antara para ahli adalah hal yang wajar karena mereka memberi keterangan berdasarkan keahlian masing-masing,” tutupnya.
Sidang praperadilan ini akan kembali dilanjutkan, Selasa (22/4/25) hari ini. Giliran Polda NTB mengajukan empat orang saksi termasuk ahli pidana dan ahli perdata. (SR)