Pudarnya Tradisi Besiru Tau Samawa

oleh -480 Dilihat

Oleh: Herlin (Mahasiswa Semester VI Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Samawa (UNSA) Sumbawa Besar)

OPINI, SR (04/08/2018)

Pulau Sumbawa merupakan salah satu pulau terbesar di Provinsi NTB yang telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 1958. Secara Geografis Pulau Sumbawa terletak antara 116’ ;42’ sampai 119;05’ Bujur Timur dan 80;00 sampai 90;71 Lintang Selatan, dibatasi di sebelah Utara Laut Flores, di sebelah Selatan Samudra Hindia (Indonesia), di sebelah Barat oleh Selat Alas dan sebelah Timur oleh Selat Sape. Suku Sumbawa atau Samawa adalah suku bangsa yang mendiami wilayah bagian Barat dan Tengah Pulau Sumbawa (meliputi Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat). Suku Sumbawa adalah campuran kelompok etnik-etnik pendatang yang telah membaur dengan kelompok etnik pendatang yang lebih dahulu mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, sehingga melahirkan kesadaran akan identitas budaya sendiri yang dicirikan dengan kehadiran Bahasa Sumbawa atau Basa Samawa sebagai bahasa

persatuan antar etnis yang mendiami sebagian pulau itu. Tau Samawa zaman dahulu memiliki berbagai macam kebudayaan yang selalu mereka lakukan setiap kegiatan sehari-harinya. Dalam hal tersebut sudah menjadi tradisi para tetua pada saat itu. Pada zaman dahulu, kebiasaan gotong royong sangat kental menyelimuti keseharian masyarakat Samawa. Dalam segala kegiatan, selalu dikerjakan secara bergotong royon. Misalnya membangun rumah, menanam padi di sawah maupun ladang, panen buah dan lain-lain.

Masyarakat suku Sumbawa pada umumnya hidup pada bidang pertanian. Pada zaman dahulu masyarakat menanam padi dengan menggunakan peralatan tradisional berupa cangkul atau bingkung, rengala dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan. Seiring dengan perkembangan zaman semakin maju dan berkembang, peralatan tradisional digantikan dengan peralatan yang modern dengan menggunakan tenaga mesin, seperti saat ini dalam memanen padi dan membajak sawah menggunakan mesin.

Baca Juga  Museum Provinsi Dikunjungi Siswa SMPN 3 Lunyuk

Masyarakat Samawa adalah masyarakat yang kaya akan tradisi, salah satunya tradisi besiru (bayar siru), dimana tradisi besiru ini terkenal sejak nenek moyang masyarakat Suku Samawa. Besiru ini mengimplementasinya tidak dapat diukur, karena bagi orang yang merasa dibantu oleh orang lain akan membantu kembali sebagai bentuk timbal balik seseorang yang telah dibantu. Bayar siru adalah tradisi saling membantu antara seseorang yang satu dengan lainnya, atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain. Dengan tradisi besiru ini masyarakat Samawa dapat mempererat tali silaturrahminya dan juga menjadi masyarakat Samawa mempertahankan jiwa kegotong-royongannya.

Pada tradisi ini, kaum perempuan mengajak orang yang memiliki sawah/ladang padi untuk bekerja sama untuk membantu menanam padi atau membersihkan lahan atau menuai padi dengan mengajak beberapa orang wanita sesuai kesepakatan. Apabila permintaan disanggupi oleh orang yang punya lahan, imbalannya adalah mengerjakan atau ikut dalam kegiatan menanam padi, membersihkan lahan, maupun menuai sawah petani yang diajak ikut besiru tersebut. Tetapi dengan seiring berkembangnya zaman tradisi tersebut seakan pudar dikarenakan sekarang banyak yang bekerja dengan imbalan rupiah. Perkembangan zaman yang turut berpengaruh pola fikir setiap orang. Kalau orang bilang “lamin jaman to’nonda de gratis” (kalau zaman sekarang tidak ada yang gratis), yah karena itu adalah kenyataan yang kita jumpai pada masa sekarang. Kalau pada masa-masa dahulu sistem kegiatan dalam masyarakat sangat tergantung pada pola gotong royong dan salah satunya ada dalam sistem pertanian. Bahasa gotong royong biasa disebut denga besiru artinya jika warga yang akan melaksanakan kegiatan maka warga yang lain dengan sendirinya ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.

rokok

Memang tradisi besiru ini merupakan aturan yang tidak tertulis sebagai aturan ketat dalam masyarakat, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tidak dengan begitu saja dapat diindahkan oleh masyarakat. Kegiatan besiru seakan pudar begitu saja dengan berkembangnya zaman. Zaman semakin berkembang tradisi pun terasa pudar. Sekarang semua serba imbalan. Zaman dahulu kalau menanam padi dengan sistem besiru dan sekarang menanam padi dengan sistem pembayaran terlebih dahulu. Hampir di setiap desa dalam proses menanam padi di sawahnya menggunakan sistem pembayaran terlebih dahulu baik yang berasal dari desa tersebut maupun luar desa. Seperti di desa saya yaitu Desa Songkar Kecamatan Moyo Utara banyak dijumpai dengan sistem pembayaran terlebih dahulu dengan tarif pembayaran per hari sebesar Rp 50.000—60.000 per orang. Dalam hal ini tarif pembayaran Rp 60.000 perhari tidak ditanggung pemilik lahan (sawah) atau bahasa Sumbawanya “mangan luar” sedangkan untuk tarif pembayaran Rp 50.000,00 perhari untuk makanannya di sediakan oleh pemilik sawah atau Bahasa Sumbawanya ‘mangan dalam”. Selain itu dalam proses penanaman padi, pemilik sawah juga menyediakan jajan dan minumnya di samping adanya mangan dalam atau mangan luar tersebut. Hal yang berbeda terlihat dari pola kehidupan modern yang mana segala sesuatu selalu dilandaskan pada materi dan jumlah bayaran. Kita juga tidak bisa memungkiri hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya kebutuhan hidup masyarakat. Akan tetapi yang patut kita perhatikan bagaimana tradisi besiru ini bisa dihidupkan dalam kegiatan masyarakat guna mempererat tali persaudaraan dalam mencegah terjadinya perpecahan. Kita sebagai orang Sumbawa sudah sepatutnya menjaga dan melestarikan tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang terdahulu, yang mana tradisi tersebut sebagai bentuk ciri khas yang dimiliki orang Sumbawa atau Tau Samawa yang dibentuk oleh orang terdahulu. (*)

rokok pilkada mahkota NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *