Budidaya Lele Pernek, Menjanjikan Namun Kurang Mendapat Perhatian   

oleh -843 Dilihat

SUMBAWA BESAR, SR (05/04/2018)

Usaha budidaya ikan lele di Kabupaten Sumbawa mulai menggeliat. Masyarakat antusias menggeluti usaha tersebut sebagai upaya mereka dalam meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Dalam perjalanannya budidaya ini cukup berhasil. Namun produksi yang berlimpah ini tidak diikuti dengan suksesnya pemasaran. Kendati hasilnya mampu memenuhi kebutuhan pasar di Kabupaten Sumbawa, tapi Ikan Lele budidaya masyarakat lokal yang terserap hanya beberapa persen. Pasalnya para pedagang maupun pengusaha lalapan sebagai ‘market’ kelompok budidaya lele ini mengambil pasokan dari luar daerah. Ada yang dikirim dari Lombok, ada juga dari Pulau Jawa. Jika kondisi ini terus dibiarkan bisa mengancam usaha budidaya masyarakat lokal. Padahal para konsumen jauh lebih untung jika bekerjasama dengan kelompok budidaya lokal tersebut. Seperti yang dialami Kelompok Budidaya Lele “Dea Papen” Desa Pernek, Kecamatan Moyo Hulu. Budidaya lele yang dilakukan kelompok ini terbilang paling besar di daerah ini. Bahkan kelompok tersebut telah mampu memotivasi masyarakat untuk menggeluti usaha yang sama. Tidak heran kelompok-kelompok serupa terus tumbuh dan menjadi mitra strategis “Dea Papin”. Kendati demikian usaha ini terancam lesu karena belum ada campur tangan pemerintah untuk menfasilitasi pemasaran dan pengadaan pakan. Untuk melihat dari dekat budidaya ini, para wartawan yang tergabung dalam Jurnalis Bangku Belakang (BaBe) berkesempatan mengunjungi Kelompok Dea Papin, Rabu (4/4) kemarin sebagai bagian dari wisata syariah yang rutin dilaksanakan tiga kali dalam sebulan.

Untuk kedua kalinya Jurnalis Babe mengunjungi Desa Pernek. Sebelumnya para wartawan menikmati panorama Embung Pernek dan merasakan kesegaran Air Terjun Teba Tewa. Kunjungan ke lokasi wisata ini sama seperti lokasi-lokasi wisata lain yang sudah disambangi Jurnalis Babe dalam rangka menggali potensi sebagai bentuk dukungan dalam memajuan pariwisata daerah. Kunjungan kali ini agak sedikit berbeda. Para wartawan dari beragam perusahaan media tersebut mengunjungi kelompok budidaya Ikan Lele. Lokasi budidaya lele ini berada di daerah persawahan yang cukup luas. Saat memasuki lokasi, para wartawan yang dikomandani Jack Zakaria RBC—Kepala Biro Media Online Kabar NTB untuk Sumbawa ini terlihat hamparan kolam lele yang cukup banyak. Tampak anak-anak muda binaan “Dea Papin” sibuk dan cekatan dalam memperlakukan budidayanya. Mereka sangat professional mulai dari pemisahan bibit lele, lele remaja dan lele dewasa hingga pola pemberian pakan, pembentukan kolam, penebaran benih, hingga proses panen. Ketika salah perlakuan maka pertumbuhan fisik lele cukup alot, bobot dan jumlahnya berkurang karena dimangsa predator dan mati terserang penyakit. “Kami sengaja merekrut anak-anak muda potensial ini agar mereka ke depan dapat menjadi wirausahawan. Secara tidak langsung kami ikut andil dalam mendukung program pemerintah meretas pengangguran serta melahirkan pengusaha baru yang nantinya akan membuka lapangan pekerjaan,” kata Sapriadi—Ketua Kelompok Dea Papin saat menyambut para wartawan.

Sapriadi–Ketua Kelompok Dea Papin saat menabur pakan untuk lele budidayanya

Sapriadi menjelaskan Budidaya lele ini terbilang gampang-gampang susah. Perawatannya tidak terlalu rumit karena lele tidak sama dengan ikan lain yang kerap ganti air. Untuk mengetahui air kolam tidak sehat ditandai mengapungnya lele di permukaan. Ini tandanya kandungan oksigen dalam air tidak terpenuhi. Segera ganti air. Sepanjang lele tidak mengapung atau berada di permukaan, kapan pun tidak perlu ganti air.  Budidaya lele untuk bisa dikonsumsi dan dipasarkan hanya membutuhkan waktu paling lama tiga bulan. Ini jika bibitnya berukuran 3 centimeter. Tapi jika bibitnya berukuran 12 centimeter atau sudah berusia remaja, maka hanya membutuhkan waktu 50 hari untuk bisa dipanen. “Yang kami kembangkan ini adalah Lele Mutiara yang sudah bersertifikat. Selain bagus, juga bobot badannya lebih berat ketimbang lele jenis lainnya,” sebut Sapriadi.

Untuk diketahui ungkap Sapriadi, setiap kolam isinya berbeda-beda. Ada kolam bibit lele berbagai ukuran, ada kolam lele remaja hingga kolam lele konsumen. Perlakuannya pun berbeda termasuk pakan yang diberikan. Untuk bibit, satu kolam bisa mencapai puluhan ribu ekor. Demikian dengan ikan lele konsumen yang siap dipasarkan satu kolam berisi 1 ton lele. Meski demikian, keberhasilan budidaya ini tidak diikuti dengan keberhasilan dalam pemasaran. Walaupun Kelompok Dea Papen sudah berdiri 2 tahun silam, tapi pengembangan usaha sepertinya jalan di tempat. Tidak ada perkembangan signifikan.

Menurut Sapriadi, kelompoknya bisa menghasilkan bibit sekitar 30 ribu ekor atau 3 ton per bulannya. Selain itu juga menghasilkan lele konsumsi sebanyak 1 ton per bulan. Memang untuk memenuhi kebutuhan pasar Sumbawa yang mencapai 5 ton per bulan belum mencukupi. Karena itu pihaknya membina berbagai kelompok budidaya mitra sehingga dalam perjalanan waktu mampu menghasilkan lebih dari kebutuhan pasar. “Salah satu kunci menyukseskan budidaya lele ini adalah kebersamaan. Dengan kebersamaan ini kami telah mampu memenuhi kuota pasar Sumbawa,” aku Sapriadi.

Tingkat keberhasilan budidaya lele kelompoknya dan kelompok mitra cukup lumayan. Namun yang menjadi kendala adalah proses penjualan yang terkesan begitu sulit. Sebab mereka dihadang pasokan lele dari Pulau Lombok dan Pulau Jawa. Para konsumen telah membentuk kelompok yang telah lama menjalin kerjasama dari pemasok luar daerah. “Pemasok dari dua pulau itu menguasai 88 persen pasar Sumbawa, kami dapat sisanya,” ujarnya.

Padahal banyak keuntungan jika mengambil lele dari pengusaha lokal seperti mereka. Selain ada jaminan keamanan lele tetap hidup karena pengiriman ke konsumen yang cukup singkat, juga harga lele perkilogram yang ditawarkan sangat kompetitif. “Kalau pasokan dari luar terkadang, ada beberapa lele yang mati karena proses pengiriman yang alot. Tapi pemasok luar sudah pintar. Seperti pemasok dari Pulau Jawa, mengirim lele remaja kemudian dibudidaya di Sumbawa selama beberapa minggu lele menjadi dewasa selanjutnya baru dijual,” tukas Sapriadi.

Masalah lain yang dihadapi kelompok budidaya lele lokal, adalah persoalan pakan. Tingkat biaya produksi lele di pakan mencapai 85%. Ketika biaya pakan bisa ditekan maka biaya produksi akan turun.

Untuk itu sangat dibutuhkan intervensi pemerintah daerah dalam mengatasi persoalan ini. Misalnya membuat regulasi untuk membatasi pasokan dari luar sebagai upaya guna memberikan kesempatan kepada pengusaha lokal. Di samping itu memberikan bantuan subsidi pakan sehingga biaya produksi budidaya lele bisa ditekan. Sejauh ini untuk bisa bertahan dengan menjaga animno dan semangat masyarakat lokal dalam budidaya lele sambung Sapriadi, pihaknya menjalin kerjasama dengan BUMDes dan Ponpes Dea Malela, terutama dalam hal pembibitan dan pemasaran. Tak hanya itu ikan lele dipasarkan dalam bentuk olahan. “Di sini kami ada Poklasar (Kelompok Laskar), lele disulap menjadi ‘Simir Tunyuk” (ikan lele yang dibumbui dan siap santap). Kami juga antar ke mobil atau sepeda motor keliling. Cara ini bisa menyerap sampai 15 kilogram per hari. Ada juga dengan motode yang lain, kita coba door to door tanpa menyebutkan pasar. Di sini kami punya langganan dengan serapan sampai 3 ton lele. Tapi memang hasil dengan cara ini masih fluktuatif. Berbeda ketika memiliki pasar yang jelas dan permintaan yang tetap, maka suplay akan berlangsung secara kontinyu,” imbuhnya.

Kemudian soal ketersediaan pakan, pihaknya tengah bernegosiasi dengan Universitas Teknologi Sumbawa (UTS). Sebab perguruan tinggi yang dibangun Dr. H. Zulkieflimansyah SE., M.Sc yang kini dicalonkan sebagai Gubernur NTB telah memiliki pabrik pakan yang dalam sehari bisa memproduksi sebanyak 3 ton. Selama ini Kelompok Dea Papin mendapatkan pakan ikan lele dari Mataram yang tentunya costnya cukup besar. Ia berharap melalui berbagai upaya yang dilakukan Kelompok Dea Papin dapat menggugah berbagai pihak termasuk pemerintah daerah sehingga usaha masyarakat lokal dapat berkembang bahkan bisa tembus ke pasaran regional maupun nasional. “Meski bertaraf lokal tapi lele budidaya kami ke depan memiliki pasar yang global,” pungkasnya. (JEN/SR)

 

nusantara pilkada NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *