SUMBAWA BESAR, samawarea.com (1 September 2025) – Dikabulkannya gugatan Sangka Suci selaku ahli waris I Gede Bajre, membuat Arifin Effendi (Boss Ipin) selaku tergugat tak terima. Tergugat melalui kanal youtube dan media social lainnya mengaku menjadi korban praktek mafia tanah.
Tergugat merasa tak percaya dapat dikalahkan mengingat telah mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan yang telah dikuasainya cukup lama bahkan sudah dipindahtangankan. Namun klaim menjadi korban praktek mafia tanah, ditanggapi lucu oleh Penggugat Sangka Suci dkk melalui Kuasa Hukumnya, Kusnaini SH MH.
Dalam jumpa persnya, Senin (1/9/25), Kus—demikian pengacara muda ini disapa, menilai klaim tersebut sangat keliru. Justru sebaliknya, Sangka Suci dkk yang menjadi korban praktek mafia tanah. Sebab lahan milik kliennya, dikuasai sejumlah pihak termasuk tergugat, Arifin Effendi secara melawan hukum.
Untuk membuktikan semua itu, pihaknya mengambil langkah hukum dengan melakukan gugatan. Dari fakta yang terungkap di persidangan berdasarkan alat bukti dan keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan, Sangka Suci dkk akhirnya memenangkan gugatan atas tanah yang dikuasai tergugat Arifin Efendi.
Dalam perkara 8/Pdt.G/2024/PN Sbw yang telah diputus pada 12 Agustus 2025, majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, serta menyatakan bahwa sejumlah dokumen milik penggugat, termasuk Surat Keterangan Tanah dan Bukti Pembayaran, adalah sah dan berkekuatan hukum. Bahkan majelis hakim juga memerintahkan BPN untuk mencoret Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1059 yang dikantongi Arifin Effendi.
Kusnaini menyatakan bahwa kliennya memperoleh tanah tersebut secara sah sejak tahun 1995. Tanah ini berasal dari transaksi jual beli oleh I Gede Bajre kepada 67 pemilik awal dan dilengkapi dokumen sah, berupa Surat Keterangan Obyek Pajak untuk ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan Nomor 1552 atas nama Samsun Ali (pemilik awal) tertanggal 28 Januari 1990, Surat Keterangan Tanah, Surat keterangan pemilikan/penguasaan tanah, Surat Petikan Pajak, Surat pemberitahuan Pajak terhutang, surat persetujuan istri, dan kwitansi bukti pembayaran sejumlah uang.
Sebaliknya, Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1059 yang dikantongi Arifin Effendi tidak mampu membuktikan riwayat historis pemilikan terhadap obyek sengketa ini, dengan bukti-bukti surat, yang dikuatkan keterangan saksi-saksi. Dalam riwayatnya, Tergugat V (Be Kianto) mendapatkan tanah dari Tergugat IV (Arifin Effendi), Tergugat IV mendapat tanah dari Tergugat III (Ihsan Rahmatullah), Tergugat III mendapat tanah dari Tergugat II (Haji Subandi), dan Tergugat II mendapat tanah dari Tergugat I (M. Bakhtiar).
Padahal lanjutnya, M. Bakhtiar bukanlah yang berhak terhadap tanah obyek sengketa karena hanyalah sebagai juru bayar I Gede Bajre. Ini diperkuat dari jawaban M Bakhtiar di dalam persidangan yang mengaku tidak pernah menjual tanah obyek sengketa kepada tergugat II (Haji Subandi).
“Jadi asal usul atau warkah SHM Nomor 1059 atas nama Tergugat III (Ihsan Rahmatullah) yang dibalik nama kepada Tergugat IV (Arifin Efendi) adalah cacat, karena fakta di persidangan menunjukkan bahwa tergugat tidak mampu membuktikan rantai kepemilikan tanah yang sah sehingga sertifikat itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum,” tegas Kus sapaan pengacara yang kerap memenangkan sejumlah perkara besar.
Kusnaini meminta pihak tergugat untuk menempuh jalur hukum apabila merasa dirugikan, bukan dengan membentuk opini publik yang menyesatkan.
“Putusan PN Sumbawa ini adalah bentuk pembuktian siapa sebenarnya yang terlibat dalam praktik mafia tanah. Kalau merasa benar, buktikan di pengadilan, bukan lewat opini,” tandasnya.
Lebih jauh Kus menjelaskan bahwa memegang sertifikat tidaklah mengurangi hak seseorang untuk membuktikan bahwa sertifikat yang bersangkutan adalah tidak benar, sebagaimana dijelaskan dalam Yurisprudensi MARI Nomor 327K/ Sip/1976 tertanggal 2 November 1976.
Sebagaimana juga ditekankan dalam Yurisprudensi MA No. 504PK/Pdt/2001,sertifikat bisa dibatalkan apabila proses jual belinya tidak dilandasi iktikad baik atau berasal dari pihak yang tidak berhak.
“Jadi jelas dalam persidangan, mereka (para tergugat) memperoleh sertifikat dari proses yang tidak sah atau bersumber dari pemilik yang bukan berhak terhadap obyek tanah sengketa ini,” pungkasnya. (SR)






