Perda IPKTM Tidak Relevan, Dewan Usul Ranperda PKTM

oleh -88 Dilihat

SAMAWAREA PARLEMENTARIA, KERJASAMA DENGAN DPRD KABUPATEN SUMBAWA

SUMBAWA BESAR, SR (15/02/2016)

Potensi hutan rakyat sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, namun di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai bahan baku industri pengolahan kayu makin bertambah. Pemenuhan kebutuhan kayu salah satunya melalui pengembangan hutan rakyat. Fungsi kayu adalah sebagai pendukung lingkungan, konservasi tanah dan perlindungan tata air. Hutan rakyat atau lahan-lahan lain di luar kawasan hutan juga mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemenuhan bahan baku kayu yang dihasilkan dari luar kawasan hutan milik Negara. Kayu rakyat adalah hasil hutan yang diperoleh dari lahan milik sendiri, maka pengolahan dan pemanfaatan hasil hutan sepenuhnya menjadi hak pemilik. Sedangkan fungsi pemerintah dalam hal ini hanya melakukan pembinaan untuk menjamin kelestarian hutan dan melindungi kelancaran peredaran hasil hutan melalui penatausahaan hasil hutan. Kelestarian hutan rakyat perlu mendapat perhatian, maka pengaturan atau penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat menjadi satu hal penting yang perlu diperhatikan. Karenanya dalam pengelolaan dan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat dipandang perlu dibuatkan suatu dasar acuan atau petunjuk pelaksanaan (Juklak). Petunjuk pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat dimaksudkan sebagai dasar acuan dalam penertiban pemanfaatan hasil hutan di hutan rakyat atau pelaksanaan penatausahaan hasil hutan bagi pemerintah kabupaten/kota dan aparat pelaksana di lapangan dalam menyelenggarakan penatausahaan hutan rakyat. Demikian dijelaskan Juru Bicara Komisi II Yasin Musamma saat menyampaikan laporannya terhadap Ranperda Inisiatif komisi Dewan tentang Penatausahaan Kayu Tanah Milik (PKTM) pada Rapat Paripurna yang digelar di ruang Rapat Utama, Senin (15/2).

Sejalan dengan hal tersebut dengan berlakunya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak, maka Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa No. 26 Tahun 2006 tentang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM), tidak relevan lagi sehingga perlu dilakukan penyesuaian. Dikatakan Ranperda tentang Penatausahaan Kayu Tanah Milik oleh Komisi III ini telah melalui penyusunan naskah akademik dan diskusi publik yang bertujuan untuk mengkaji Perda No. 26 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak dari aspek filofis, yuridis, dan sosiologis sebagai dasar dalam pembentukan peraturan daerah Kabupaten Sumbawa. Selain itu bertujuan untuk menyamakan persepsi bagi eksekutif dan legislatif dan para stakeholders dalam mengimplementasikan peraturan daerah tentang penatausahaan kayu dari hutan hak.

Ranperda ini juga telah melalui kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. Seperti penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang berasal dari penatausahaan kayu tanah milik yang selama ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.51/Menhut-II/2006 tentang Hutan Hak ditindaklanjuti Pemerintah Kabupaten Sumbawa dengan menetapkan Peraturan Daerah No. 26 Tahun 2006 tentang Ijin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM). Selanjutnya dalam Penatausahaan Kayu dari Hutan Hak telah ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No: P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak. Penetapan Permenhut tersebut di masyarakat terjadi dualisme dalam praktik penatausahaan kayu dari hutan hak, sehingga perlu dilakukan penyesuaian pengaturan dengan mencabut Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa No. 26 Tahun 2006.

Sektor kayu, dalam hukum dan kebijakan kehutanan di Kabupaten Sumbawa, terjadi perselisihan norma antara Permenhut 30/2012 tentang Penataan Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak dengan Perda 26/2006. Secara normatif, PP 30 tahun 2012 merupakan delegasi dari Pasal 118 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

Baca Juga  Pemda Sumbawa Sepakat 10,05 Milyar untuk Bawaslu Sumbawa

Perbedaan mendasar antara P.30/Menhut-II/2012 dan Perda No. 26/ 2006 adalah soal Perizinan. Perda No. 26/2006 mensyaratkan setiap orang yang memanfaatkan kayu tanah milik harus mendapatkan izin atau IPKTM dari Camat atau Bupati. Sedangkan P.30/Menhut-II/2012. Dalam Pasal 2 ayat (2) P.30/Menhut-II/2012 menyatakan bahwa pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan pada hutan hak tidak perlu izin penebangan/pemungutan. Dengan diterbitkannya P.30/Menhut- II/2012, maka mekanisme pelaksanaan penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak adalah self assesment. Pertentangan antara Perda No. 26/2006 dengan P.30/Menhut-II/2012 menimbulkan keraguan dan kebingungan sebagian aparat pemerintah, terutama Dishutbun Kabupaten Sumbawa. Permasalahan di lapangan, apakah aparat yang berwenang bisa menindak pengangkutan kayu yang tidak mempunyai IPKTM tetapi melengkapi dokumen sebagaimana yang diatur dalam P.30/Menhut- II/2012 seperti Nota Angkutan, Nota Angkutan Penggunaan Sendiri, dan Surat Keterangan Asal-Usul (SKAU). Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika Perda No. 26/2006 bertentangan dengan P.30/Menhut-II/2012 dari perspektif tata hirakhi peraturan perundang-undangan?

Secara teoritik, Stufenbautheorie mengajarkan bahwa sistem hukum tertata secara hirarkis di mana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi, sehingga Perda harus menyesuaikan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi. Karena itu Ranperda Penata usahaan Kayu Tanah Milik ini sebagai jawaban atas perubahan regulasi yang lebih tinggi di bidang kehutanan.

Peraturan Daerah tentang Penatausahaan Kayu dari Tanah Hak ini membawa implikasi terhadap beberapa hal. Yaitu menghapus dualisme peraturan yang mengatur tentang penatausahaan kayu hutan tanah milik sehingga akan berpengaruh pada kelestarian hutan. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk peningkatan usaha penanaman kayu pada hutan tanah milik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Meningkatnya peran-serta dan keterlibatnya swasta, masyarakat dan para pihak dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pengusahaan kayu dari hutan tanah milik yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Meningkatnya peran-serta dalam menjaga kelestarian hutan di Kabupaten Sumbawa. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan kayu pada hutan tanah milik. Serta kebutuhan dana untuk proses penerapan peraturan dan penegakkan hukumnya.

Lebih jauh dikatakan Yasin Musamma—akrab disapa politisi Demokrat ini disusunnya Ranperda ini untuk ketertiban peredaran kayu tanah milik dan melindungi hak privat serta kepastian hukum dalam pemilikan/penguasaan dan pengangkutan kayu tanah milik. Sementara penatausahaan kayu tanah milik ini untuk memberikan petunjuk pelaksanaan penatausahaan kayu tanah milik, menciptakan penatausahaan kayu tanah milik yang mudah dan tertib sesuai dengan perkembangan otonomi daerah. Selain itu menciptakan keamanan dan kelestarian lingkungan terhadap berbagai kepentingan daerah dan mendukung upaya pelestarian fungsi hutan Negara, serta memonitor informasi kualitatif dan kuantitatif mengenai kayu tanah milik sebagai bahan untuk menyusun kebijakan pemerintah daerah di bidang kayu pada hutan rakyat.

Substansi Ranperda ini adalah dimulai dari produksi. Bahwa hutan hak harus dibuktikan dengan alas hak atas tanah, berupa Sertifikat Hak Milik, atau leter C, atau Girik, Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pakai, atau Surat atau dokumen lainnya yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan lainnya yang berada di luar kawasan hutan dan diakui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemudian Prosedur penebangan dan pengangkutan kayu tanah milik, bahwa setiap orang atau badan hukum yang akan melakukan penebangan pohon kayu tanah milik untuk kebutuhan sendiri dan/atau kepentingan umum, harus mengajukan permohonan kepada kepala desa/lurah setempat. Permohonan ini diajukan secara tertulis disertai dengan alasan penebangan dan harus melampirkan persyaratan yang ditetapkan.

Baca Juga  Presiden Jokowi Terima Pangeran Arab Saudi Jelang Asian Games

Selanjutnya kepala desa melakukan verifikasi kebenaran sertifikat, dengan pernyataan kebenaran sertifikat yang selanjutnya melampiri dokumen angkutan kayu. Verifikasi sertifikat dilakukan dengan mencocokkan dengan sertifikat asli serta kebenaran sandingan kepemilikan tanah di sekitar lokasi yang dimohon dengan berita acara kebenaran sertifikat dengan saksi adalah pemilik sandingannya.

Untuk diketahui, Dinas Kehutanan dan Perkebunan melakukan pengawasan terhadap kegiatan penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan tanah milik. Penerbit SKAU menyampaikan laporan produksi dan peredaran hasil hutan tanah milik rekapitulasi penerbitan SKAU kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan melaporkan realisasi produksi dan peredaran hasil hutan hak di wilayahnya kepada Dinas Provinsi, dengan tembusan kepada Kepala Balai setiap 3 (tiga) bulan. Untuk ketertiban pelaksanaan penatausahaan hasil hutan tanah milik, Dinas Kehutanan dan Perkebunan wajib melakukan pemantauan, pengawasan dan pengendalian peredaran hasil hutan tanah milik. Dinas melakukan pembinaan terhadap masyarakat, kelompok masyarakat, aparat desa, dan para pelaku kegiatan penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan tanah milik. Pembinaan dapat melibatkan instansi terkait dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki program relevan untuk bekerjasama dengan kelompok dan pemerintah desa. Pelaksanaan pengendalian, monitoring dan evaluasi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan wajib mendengar, menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat terhadap pelaksanaan penebangan kayu pada hutan tanah milik. Dinas Kehutanan dan Perkebunan menyiapkan media/sarana dalam mendengar, menerima pengaduan masyarakat serta menindak lanjutinya. Dinas Kehutanan dan Perkebunan menyampaikan laporan kepada Bupati setiap 4 (empat) bulan sekali.

Secara keseluruhan Rancangan perda ini terdiri atas 10 Bab dan 22 pasal.Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 26 Tahun 2006 tentang Izin Penebangan Kayu Tanah Milik (Lembaran Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 26 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 504) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Komisi II berharap melalui penatausahaan kayu tanah milik tersebut, ada aturan yang jelas tentang pengurusan kayu tanah milik oleh pemerintah maupun masyarakat sehingga menjadi lebih efektif dan efisien. Pada praktiknya, penatausahaan kayu tanah milik seringkali direduksi maknanya sebatas rasionalisasi (downsizing) hak dan kewajiban masyarakat. Akibatnya, terjadi tarik-menarik kepentingan yangbersifat politis. Dalam penatausahaan kayu tanah milik di SKPD, tidak selalu harus berupa rasionalisasi (downsizing) karena bisa juga berupa penggabungan (merger) dari beberapa SKPD dengan fungsi sejenis/serumpun, bahkan pembentukan organisasi baru yang memang diperlukan untuk mendukung penataan usahaan kayu tanah milik.

Karena itu, paradigma baru yang seyogianya diterapkan dalam penatausahaan kayu tanah milik adalah mencari hak, kewajiban dan fungsi yang proporsional (bukan sekedar membagi hak dan kewajiban masyarakat serta pemerintah), dan mendesain penatausahaan kayu tanah milik secara benar, bukan sekedar rasionalisasi.

Komisi II ini terdiri dari Abdul Rafiq (ketua), Salman Al Farizi, SH (Wakil ketua), Muhammad Yamin SE, M.Si (Sekretaris), dan beberapa anggota yaitu Muhammad Nur, S.Pdi, Salamuddin Maula, I Nyoman Wisma, Hamzah Abdullah, Muhammad Yasin Musamma, S.AP, dan Hasanuddin SE. (JEN/*)

rokok pilkada mahkota NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *