Kejari Sumbawa Bebaskan 4 Tersangka Penganiayaan dan Penadah Ternak Curian

oleh -206 Dilihat

Pertama di NTB Terapkan Restoratif Justice

SUMBAWA BESAR, samawarea.com (10/9/2020)

Kejaksaan Negeri Sumbawa membebaskan sedikitnya 4 orang tersangka dari tuntutan hukum. Keempatnya ini adalah 1 orang kasus tindak pidana penganiayaan di Kecamatan Labangka dan tiga lainnya sebagai penadah ternak hasil tindak pidana pencurian ternak di wilayah Kecamatan Moyo Hulu. Dibebaskannya keempat tersangka yang dibuktikan dengan adanya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) ini sebagai implementasi atau diterapkannya sistem restorative justice di Kabupaten Sumbawa. “Di NTB, Kejaksaan Negeri Sumbawa yang pertamakali menerapkan restorative justice ini,” kata Kajari Sumbawa, Iwan Setiawan SH M.Hum dalam jumpa persnya, Kamis (10/9) sore ini.

Kajari Iwan menjelaskan, restoratif justice ini lebih menekankan pemulihan seperti semula terhadap korban, bukan mengedepankan penerapan hukuman atau pembalasan terhadap tersangka. Ini merupakan implementasi Peraturan Kejaksaan nomor 15 tahun 2020. Dalam peraturan kejaksaan ini ada tiga pertimbangan diterbitkannya sistem itu. Pertama, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan berkomitmen untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kedua, penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan. Ini merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana. Dan ketiga, Jaksa Agung bertugas dan berwenang mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang dengan memperhatikan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta menetapkan dan merumuskan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Termasuk penuntutan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Sistem ini adalah terobosan baru dari pihak kejaksaan. Dimana perkara yang sudah diterima dari penyidik kepolisian tidak dilimpahkan ke Pengadilan. Penanganannya akan dihentikan. Tentu dengan sejumlah persyaratan tertentu. Dan saat ini kami sudah menghentikan dua perkara. Yakni perkara penganiayaan dan penadahan,” ungkap Kajari yang didampingi Kasi Intel, Ida Made Oka Wijaya SH, Kasi Pidum Hendra SS SH, Kasi BB, dan Jaksa Penyidik, Agus Widiyono, SH., MH.

Baca Juga  Tim Ahli dari UNSA Perkuat Dugaan Penyimpangan Bronjong Patedong

Terkait persyaratan yang bisa direstoratif, ungkap Kajari, adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun. Kemudian, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2,5 juta. “Penerapan restoratif ini akan dilakukan setelah adanya pelimpahan dari penyidik kepolisian atau berkas perkaranya sudah dinyatakan lengkap (P21),” ujarnya.

Untuk diketahui, lanjut Kajari, restorative justice ini diterapkan mengadopsi sistem peradilan di Negeri Belanda. Di Negeri Kincir Angin itu dikenal minus narapidana di penjaranya. Ini bukan karena tidak ada lagi tindak pidana, melainkan cara penanganan perkara pidananya tidak lagi konvensional yang mengandalkan pada offender oriented melainkan telah bergeser ke victim oriented dengan cara mengutamakan pemulihan keadaan (restorasi) sesuai dengan kesepakatan para pihak yang didasarkan pada voluntary principle. Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Penutupan perkara demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal, terdakwa meninggal dunia, kadaluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem). Pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali, serta telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process). (JEN/SR)

rokok pilkada mahkota NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *