KPK Anak Kandung Reformasi, Jangan Dibunuh !!

oleh -117 Dilihat
Joni Satriawan

Oleh: Joni Satriawan (Biro Politik dan Kebijakan Publik PB PMII)

SUMBAWA BESAR, SR (10/12/2017)

Hari Anti Korupsi se dunia yang jatuh pada tanggal 09 Desember, menjadi sebuah momentum untuk merefleksikan kembali betapa bahayanya perilaku jahat para karuptor. Peringatan tersebut dilakukan oleh banyak kalangan di berbagai negara melalui ragam bentuk kegiatan. Aksi turun jalan, seminar, dialog publik, hingga diskusi-diskusi kecil di berbagai tempat.

Korupsi memang menjadi perbincangan yang selalu hot dari hari ke hari, tahun ke tahun, hingga rezim ke rezim. Sebab, korupsi merupakan tembok besar yang menghalangi pembangunan dari berbagai aspek. Baik itu ekonomi, politik, sosial budaya dan lain-lain. Dari perspektif kenegarawan, pertumbuhan ekonomi suatu negara akan berkembang pesat jika di dalamnya terdapat pemerintahan yang baik (Good Governance). Namun sebaliknya, jika pemerintahan tidak dapat dikendalikan dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi akan sangat lemah, selanjutnya negara akan dilanda oleh krisis moneter.

Seperti yang telah terjadi di Indonesia contohnya, korupsi sejak dulu telah tumbuh dan berkembang di struktur resmi pemerintahan. Kemudian berdampak pada krisis moneter era 1997-1998. Kondisi demikian membuat publik menjadi geram, sehingga mendatangkan ombak perlawanan dari kalangan aktivis mahasiswa pada era tersebut. Perlawanan besar-besaran itu telah berhasil menumbangkan status quo orde baru yang dianggap sebagai rezim pemerintahan otoriter dan korup. Singkatnya, lahirlah rezim reformasi. Rezim yang diharapkan mampu menghantarkan Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar kuat. Lepas dari kemiskinan, lepas dari hegemoni kekuasaan, demokratis, mandiri, dan sejahtera sejatinya sebuah bangsa yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah ruah.

Untuk mengejawantahkan kondisi demikian, tentu membutuhkan kebijakan dan penegakan hukum yang kuat sebagai intrumennya. Oleh karena itu, lahirlah UU Nomor 31 Tahun 1999 yang saat ini telah terjadi perubahan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya diikuti dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU inilah yang menjadi dasar hukum terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK memiliki tugas untuk berkoordinasi dengan instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Supervisi terhadap instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Baca: Pasal 6, UU Nomor 30 Tahun 2002).

Melihat alur sejarah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa KPK merupakan anak kandung dari gerakan reformasi. Para aktivis reformasi tentunya memahami dengan cermat akan sejarah ini. Publik pun tidak akan memungkiri pengorbanan mereka bahwa KPK berdiri karena hasil dari tetesan keringat dan darah mereka yang telah berjuang dan berteriak di jalan. Tentu, para aktivis millennial dan generasi penerus bangsa sangat berterima kasih akan hal tersebut. Mereka telah menorehkan sejarah dan membuktikan ketajaman taji pergerakan mahasiswa Indonesia.

Lembaga Anti Rasuah yang dilahirkan oleh gerakan reformasi itu, hingga kini terlihat terus menerus melakukan penanganan tindak pidana korupsi. Bahkan, nyaris setiap hari pemberitaan tentang korupsi mewarnai media massa Indonesia. Korupsi masih menjadi judul utama dalam setiap episode persoalan bangsa. Bahkan semakin parah, jika diibaratkan penyakit, korupsi telah menjadi kangker ganas stadium empat dan telah menggurita ke seluruh pelosok tanah air. Korupsi di Indonesia sudah tidak lagi mengenal kelas, dari level pejabat pusat, regional, lokal bahkan sampai ke tingkat desa. Semuanya terkesan berlomba-lomba untuk melakukan korupsi di tingkatan masing-masing.

Namun oleh KPK tidak sedikit juga para pejabat yang telah diciduk dan ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Sejak tahun 2004 hingga 2017, tercatat penanganan perkara tindak pidana korupsi, penyelidikan 918 perkara, penyidikan 645 perkara, penuntutan 523 perkara, inkracht 436 perkara, dan eksekusi 463 perkara (Baca: Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi).

Jumlah penanganan yang tidak sedikit. Namun masih saja belum memberikan efek jera terhadap para koruptor. Tindakan jahat tersebut masih saja terus terdengar. Hal ini benar-benar menggeramkan. Belum lagi ditambah dengan adanya wacana untuk pembubaran KPK. Entahlah, apakah ini lelucon ataukah sekedar dinamika dalam penyelenggaraan negara? Apakah di dalam tubuh KPK ada permainan, ataukah KPK menjadi musuh bersama para koruptor sehingga ingin dibubarkan? Allahualambissawab.

Namun tentunya, wacana terhadap pembubaran KPK merupakan tindakan yang tidak tepat untuk mengatasi problematika korupsi di negeri ini. Membubarkan KPK sama saja dengan mendustai gerakan mahasiswa di era 1998. Membubarkan KPK sama saja dengan membunuh anak kandung reformasi.

Jika KPK dinilai tidak maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya, maka dipandang perlu adanya indentifikasi letak permasalahannya. Andaikata permasalahan tersebut terletak pada stakeholder yang ada di KPK, maka stakeholder tersebutlah yang sekiranya perlu pembenahan, ditindak dengan tegas. Bukan sebaliknya, lembaga yang ingin dibubarkan. Sebab, bisa dibayangkan jika di tengah maraknya korupsi saat ini tidak ada lembaga yang fokus dan konsentrasi dalam penanganannya. Namun jika keinginan membubarkan KPK dikarenakan oleh ketakutan para koruptor, maka tentu ini akan menjadi bumerang bagi negara. Adanya lembaga yang fokus dalam penanganan tindak pidana korupsi saja belum dapat menyelesaikan masalah korupsi dengan tuntas. Aplagi kelak ditiadakan, entah akan seperti apa negeri ini ke depannya. Monggo direfleksikan. (*)