Safran: Nyonya Lusy Tidak Lakukan Penggelapan, Tindakan Polisi dan Jaksa Keliru  

oleh -802 Dilihat
Tim Kuasa Hukum Nyonya Lusi, Safran SH MH dkk

SUMBAWA BESAR, samawarea.com (29 April 2024) – Nyonya Lusi yang dijadikan tersangka dugaan tindak pidana penggelapan oleh penyidik Polda NTB telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sumbawa, Senin (29/4) pagi tadi. Saat pelimpahan, Nyonya Lusi didampingi Tim Kuasa Hukumnya dari Kantor Sambo Law Firm.

Pagi itu juga tim kejaksaan bersama penyidik Polda NTB, serta disaksikan tim kuasa hukum Nyonya Lusi, mengecek barang bukti yang diduga digelapkan di Rubasan Sumbawa. Tercatat ada sekitar 7 unit kulkas, mesin cuci dan telivisi. Padahal jika dikalkulasikan, harga barang itu hanya belasan juta rupiah, bukan Rp 15 milyar sebagaimana tuduhan penyidik Polda NTB dan pelapor (Ang San San) melalui pengacaranya, belum lama ini.

Dari informasi yang diserap samawarea.com, barang yang dititipkan di Rubasan itu diamankan dari gudang CV Sumber Elektronik, bukan dari hasil penggelapan yang disangkakan terhadap Nyonya Lusi. Sedangkan barang elektronik yang disita polisi, bukan bagian dari tindak kejahatan. Sebab barang eletronik berada di dalam toko yang disegel dan dalam penguasaan polisi, yang kemudian diangkut ke Mataram menggunakan 7 unit truk.

Ditemui samawarea.com, Safran SH., MH, selaku Kuasa Hukum Nyonya Lusi kembali menegaskan, bahwa dugaan penggelapan yang disangkakan penyidik Polda NTB, sangat keliru dan tidak benar. Apalagi jumlahnya cukup fantastis mencapai Rp 15 milyar. Padahal kliennya baru menguasai dan mengelola CV (Toko) Sumber Elektronik hanya dalam kurun waktu dua minggu.

Terkait kedudukan haknya, ungkap Safran, jika dilihat secara keperdataan, kliennya memiliki hak atas CV Sumber Elektronik. Hal itu didasarkan pada Akta Notaris yang dibuat Slamet Riyadi Kuantanaya—adik kandung kliennya. Dalam ketentuan pasal 11 akta tersebut tertulis, apabila Slamet Riyadi Kuantanaya meninggal dunia maka perusahaan atau toko tersebut dikelola oleh ahli warisnya. Dalam kontek ini, Nyonya Lusy sebagai ahli warisnya.

“Jadi penyidik Polda salah memahami kalau Ibu Lusy melakukan penggelapan. Yang sebenarnya klien kami ini menguasai, memiliki dan mengelola perusahaan itu karena memiliki hak secara keperdataan,” tegas Safran.

Dalam konteks ini juga, lanjut Safran, kejaksaan dan polisi tidak melihat secara utuh kedudukan hak dari para pihak baik pelapor maupun kliennya sebagai terlapor. Sebenarnya kalau dilihat secara jernih, ini murni persoalan keperdataan.

“Harusnya masalah keperdataan ini diselesaikan dulu baru dilanjutkan ke pidana. Apalagi klien kami masih menghadapi gugatan banding keperdataan dari pelapor (Ang San San), yang berkaitan dengan harta gono-gininya,” pungkasnya. (SR)