MATARAM, samawarea.com (1 Desember 2025) — Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dari Dapil Sumbawa, H. Salman Alfarizi, S.H., angkat bicara terkait pernyataan Kepala Dinas PUPR NTB yang dinilai menyinggung masyarakat Pulau Sumbawa.
Pernyataan tersebut disampaikan Kadis PUPR saat menjadi narasumber dalam acara Bincang Kamisan, Kamis (27/11) lalu. Menurut Haji Salman, closing statement yang dilontarkan tidak mencerminkan pemahaman seorang pejabat terhadap kondisi pembangunan yang adil dan berimbang di wilayah NTB.
Ia menilai pernyataan itu terkesan mengabaikan persoalan jalan rusak di Pulau Sumbawa dengan alasan minimnya pengguna jalan.
“Sebagai wakil rakyat dari Pulau Sumbawa, sangat kami sayangkan pernyataan itu,” ujar Salman dengan nada tegas.
“Kurang elok. Sekarang saya ingin tanya, jalan provinsi mana yang sepi dan tidak dilewati orang?” tambah politisi PAN tersebut.
Haji Salman menilai pernyataan Kadis PUPR berpotensi menimbulkan kesan diskriminatif serta tidak sejalan dengan komitmen Gubernur NTB yang selama ini mendorong pemerataan pembangunan antara Pulau Lombok dan Sumbawa. Untuk itu, ia mendesak Gubernur mengambil tindakan tegas.
“Ganti, copot saja. Perlu disikapi oleh Pak Gubernur. Tidak seharusnya pejabat eselon II berkata seperti itu,” tegasnya.
Menanggapi polemik tersebut, Kepala Dinas PUPR NTB, Sadimin, memberikan klarifikasi. Ia menilai pemberitaan sebelumnya tidak memuat secara utuh maksud ucapannya sehingga menimbulkan persepsi seolah pemerintah mengabaikan infrastruktur di Pulau Sumbawa.
Sadimin menegaskan bahwa kebijakan perbaikan jalan selalu berbasis pada skala prioritas, kebutuhan riil, serta kondisi lalu lintas, bukan berdasarkan wilayah tertentu.
“Tahun ini cukup banyak proyek perbaikan di Sumbawa. Jadi kalau disebut ada ketimpangan, itu belum tentu benar. Pemerintah menggunakan skala prioritas,” jelasnya.
Ia memaparkan sejumlah proyek strategis di Sumbawa yang sedang berlangsung, seperti, perbaikan jalan Simpang Tano – Seteluk senilai Rp 32 miliar, penanganan ruas Lunyuk Rp 20 miliar, penanganan Jembatan Doro O’o di Kabupaten Bima, dan sejumlah titik perbaikan lainnya.
Sementara di Lombok, salah satu proyek besar adalah perbaikan ruas Pohgading dengan anggaran Rp 28 miliar.
Sadimin juga menegaskan bahwa panjang jalan provinsi di Sumbawa mencapai sekitar 900 kilometer, jauh lebih panjang dibanding Lombok yang hanya sekitar 500 kilometer. Hal itu membuat kebutuhan anggaran pemeliharaan di Sumbawa secara alami lebih besar.
“Bahkan tahun ini anggaran perbaikan jalan justru lebih banyak dialokasikan untuk wilayah Sumbawa,” ujarnya.
Sadimin mengaku keterbatasan anggaran menjadi alasan pemerintah tidak dapat memperbaiki seluruh ruas jalan secara bersamaan. Karena itu, penanganan dilakukan secara bertahap dengan mengutamakan ruas yang memiliki arus lalu lintas tinggi dan dampak ekonomi signifikan.
“Semua ingin kita perbaiki, tapi harus bertahap,” ujarnya.
Polemik ini diharapkan menjadi momentum memperkuat komunikasi antara eksekutif dan legislatif demi memastikan pembangunan infrastruktur di NTB berjalan adil, merata, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat. (SR)






