Ketika Ekspor Konsentrat AMMAN Dihentikan, Ekonomi NTB dan KSB Tertekan

oleh -278 Dilihat

SUMBAWA BARAT, samawarea.com (21 Oktober 2025) – Gemerlap kilau emas dan tembaga di bumi Sumbawa Barat ternyata tersembunyi sebuah persoalan pelik yang kini menghantui perekonomian daerah bahkan provinsi. Tambang milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) yang beroperasi di Batu Hijau, dan selama ini menjadi nadi kehidupan ekonomi Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya Sumbawa Barat, mendadak terhambat. Bukan karena krisis global atau bencana alam, tetapi karena sebuah kebijakan nasional yaitu pelarangan ekspor konsentrat demi percepatan hilirisasi.

Kebijakan ini sejatinya bertujuan mulia, mendorong nilai tambah di dalam negeri dengan membangun smelter. Tapi realitas di lapangan berkata lain. Smelter milik PT AMMAN yang ditargetkan menjadi pusat pemurnian, ternyata belum siap beroperasi secara penuh. Proses komisioning masih berjalan, produksi katoda tembaga baru mencapai sekitar 19 ribu ton, jauh dari kapasitas maksimal yang dirancang mencapai 222 ribu ton per tahun.

Kondisi inilah yang mendorong Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian angkat bicara dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Juli lalu. Ia menyebut NTB mengalami kontraksi ekonomi sebesar 1,47% pada kuartal pertama 2025 sebuah kemunduran tajam dibanding pertumbuhan 4,75% di periode yang sama tahun sebelumnya. Penyebab utamanya? Tertundanya ekspor konsentrat dari tambang PT AMMAN akibat belum selesainya smelter.

Jika tidak ada ekspor, ungkap Tito, kegiatan ekonomi turun. Dan ini berdampak luas, mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga pendapatan daerah.

“Untuk NTB minus 1,47 persen. Saya sudah datang ke sana diskusi langsung dengan Pak Gubernur, Lalu Muhamad Iqbal. Ketemulah masalahnya, masalahnya adalah tambang yang ada di sana namanya AMMAN yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat, ada kebijakan untuk dibangun smelter sehingga produksinya (konsentrat) tidak boleh diekspor. Smelternya masih 6 bulan lagi, akibatnya tidak terjadi ekspor dan ini memengaruhi pertumbuhan ekonomi berakibat pada kegiatan (ekonomi) yang relatif menurun dan itu berpengaruh besar, lapangan kerjanya juga besar di situ,” ujar Tito dalam rapat yang digelar 9 Juli 2025.

Tito pun meminta agar Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, memberikan relaksasi ekspor sementara, semacam ‘nafas’ bagi daerah yang kini sesak karena tekanan ekonomi. “Apa ada kemungkinan relaksasi selagi menunggu smelter selesai, yaitu konsentrat dapat diekspor atau dijual ke tempat lain (smelter lain)?” ujar Tito.

Permintaan ini tidak datang dari pusat saja. DPRD Sumbawa Barat melalui surat resmi pun menyuarakan hal serupa. Ketua DPRD KSB, Kaharuddin Umar, bahkan menyebut bahwa 80% pendapatan daerah masih bergantung pada sektor tambang. Tanpa ekspor, Dana Bagi Hasil (DBH) pun nihil. Tahun 2026, Pendapatan Asli Daerah (PAD) KSB diproyeksikan turun drastis dari Rp 2,25 triliun menjadi hanya Rp 1,75 triliun.

Angka-angka ini bukan sekadar statistik karena akan membawa konsekuensi nyata. Potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 40% tenaga kerja lokal menjadi bayang-bayang mengerikan. UMKM yang bergantung pada geliat ekonomi tambang pun terancam lumpuh, karena uang tak lagi berputar di pasar lokal.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Badarudin Duri, juga menyatakan dukungan penuh terhadap langkah pemerintah pusat untuk memberikan izin ekspor konsentrat terbatas kepada PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMMAN). Menurutnya, kebijakan ini sangat penting untuk menjaga stabilitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) KSB yang selama ini masih sangat bergantung pada sektor pertambangan.

Badarudin menegaskan belum maksimalnya pengoperasian smelter milik PT AMMAN dan tertundanya pengiriman konsentrat memberikan dampak signifikan terhadap pendapatan perusahaan. Hal ini tentu akan berimbas langsung pada besaran royalti serta dana bagi hasil (DBH) yang diterima pemerintah daerah.

“Saya di DPRD KSB melihat langsung dan memantau bagaimana keseriusan PT AMMAN dalam membangun dan mengoperasikan smelter. Namun, tentu ada tahapan teknis yang harus dilalui untuk memaksimalkan kinerja mesin-mesin baru mereka. Proses ini tidak bisa instan, butuh waktu, pengujian, dan penyesuaian kapasitas,” ujar Badarudin.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa smelter PT AMMAN saat ini sudah mulai beroperasi, namun belum dalam kapasitas penuh. Beberapa waktu lalu, saat dilakukan peningkatan kapasitas, terjadi gangguan teknis yang memerlukan perbaikan. Meski demikian, proses pengoperasian terus dilakukan secara bertahap, dan pihak DPRD memastikan bahwa mereka akan terus melakukan pengawasan agar smelter bisa beroperasi secara maksimal dalam waktu dekat.

Badarudin juga menggarisbawahi bahwa kondisi keuangan daerah sangat tergantung pada kontribusi sektor tambang, terutama dari PT AMMAN yang merupakan penyumbang terbesar bagi PAD KSB. Karena itu, jika pendapatan perusahaan terganggu akibat belum bisa mengekspor konsentrat, maka secara otomatis akan berdampak pada penerimaan daerah.

“Apabila keuntungan bersih PT AMMAN menurun karena biaya operasional lebih besar daripada pendapatan, tentu hal ini akan sangat mempengaruhi royalti dan bagi hasil yang diterima oleh daerah. Dan pada akhirnya, masyarakat yang akan dirugikan karena program-program pemerintah tidak dapat berjalan maksimal akibat APBD yang berkurang,” jelasnya.

Ia pun mendorong pemerintah pusat untuk mempertimbangkan situasi ini secara komprehensif. Menurutnya, pemberian izin ekspor konsentrat secara terbatas bisa menjadi solusi sementara yang realistis sambil menunggu smelter beroperasi penuh.

“Kami tidak menutup mata terhadap kebijakan hilirisasi yang dicanangkan pemerintah pusat, namun dalam masa transisi ini perlu ada langkah bijak agar roda ekonomi di daerah tidak terhenti. Izin ekspor terbatas adalah salah satu bentuk kompromi yang patut dipertimbangkan, demi menjaga keberlangsungan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat KSB,” tegas Badarudin.

Menutup komentarnya, Ia kembali menegaskan bahwa DPRD KSB akan terus memantau perkembangan operasional smelter PT AMMAN, serta mendorong komunikasi intensif antara perusahaan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat, sehingga sinergi yang dibangun bisa menghasilkan solusi terbaik bagi semua pihak.

Sementara Gubernur Nusa Tenggara Barat, Lalu Muhammad Iqbal menyatakan akan meminta Kementerian ESDM memberikan relaksasi ekspor konsentrat untuk jumlah dan waktu tertentu sebagai upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi. “Kami memberikan dukungan terhadap kebijakan relaksasi bersifat sementara. Sebab membangkitkan ekonomi daerah jauh lebih mendesak, terutama di tengah kontraksi yang sudah mulai menekan berbagai sektor,” ujarnya.

Secara terpisah, Pengamat Pertambangan Ferdy Hasiman mengatakan bahwa kebutuhan akan menjaga perekonomian suatu daerah merupakan tanggung jawab bersama apalagi Pemerintah Pusat, karena bagaimanapun perlambatan ekonomi suatu daerah akan berdampak pada pertumbuhan nasional karena sifatnya agregat.

“Perlu ada solusi yang ditawarkan pemerintah. Desakan publik untuk menjaga stabilitas ekonomi NTB harus diutamakan ketimbang mempertahankan peraturan hilirisasi yang kaku dan kurang relevan dengan kondisi saat ini. Ini membutuhkan kebijaksanaan Pemerintah Pusat untuk menyeimbangkan cita-cita hilirisasi dengan realitas lapangan,” tambah Ferdy.

Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, kontraksi ekonomi di wilayah ini sebagian besar disebabkan oleh sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami penurunan hampir 30,14 persen saat ekspor konsentrat dihentikan. Padahal, sektor tersebut menyumbang lebih dari 20 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB.

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sumbawa Barat, Suhadi mengakui bahwa pemerintah daerah menghadapi tantangan serius dalam perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2026. Hal ini menyusul belum adanya aktivitas ekspor konsentrat dari PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMAN) sepanjang tahun 2025, sementara smelter belum bisa beroprasi penuh, yang membuat pendapatan PT. AMMAN sangat berkurang yang berimbas langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) KSB pada tahun 2026 mendatang.

PAD KSB tahun 2026 diproyeksikan akan mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Jika pada tahun 2025 PAD KSB mencapai angka Rp 2,25 triliun, maka tahun depan jumlahnya diperkirakan hanya mencapai Rp 1,75 triliun.

“Ya, memang dalam perencanaan kami, PAD KSB tahun depan akan turun hingga sekitar Rp 1,75 triliun. Ini karena sampai saat ini PT. AMMAN belum melakukan ekspor konsentrat, dan smelter mereka juga belum bisa beroperasi secara maksimal sehingga pendapatan AMMAN tentu berkurang,” jelas Suhadi.

PAD KSB saat ini masih bergantung pada dana bagi hasil dan royalti dari sektor pertambangan, khususnya dari aktivitas tambang PT. AMMAN. Pada tahun 2025, penerimaan PAD dari royalti dan dana bagi hasil tersebut tercatat mencapai Rp 900 miliar. Namun, pada tahun 2026, kontribusi ini diperkirakan akan menurun drastis karena terhentinya ekspor dan belum maksimal produksi akibat keterbatasan operasional smelter.

Kondisi ini tentu menjadi perhatian serius bagi Pemkab KSB, mengingat belanja daerah juga harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Meski demikian, Suhadi memastikan bahwa program-program strategis pemerintah daerah, termasuk program unggulan “KSB Maju”, masih akan tetap dijalankan.

“Penurunan PAD tentu akan mempengaruhi beberapa aspek penganggaran, namun kami akan tetap memprioritaskan program-program strategis yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Namun, konsekuensinya, akan ada penyesuaian pada belanja pegawai dan perjalanan dinas,” imbuhnya.

Suhadi menambahkan bahwa efisiensi anggaran akan menjadi kunci dalam menghadapi tahun fiskal 2026. Beberapa pos belanja yang bersifat operasional dan administratif akan mengalami pengurangan, termasuk perjalanan dinas, belanja pegawai dan ATK. Kendari demikian, layanan dasar kepada masyarakat serta proyek-proyek infrastruktur prioritas akan tetap diupayakan berjalan sesuai rencana.
Dengan dinamika yang ada, Bappeda bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) akan terus melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi fiskal daerah, sambil menunggu perkembangan terbaru dari PT. AMMAN terkait rencana ekspor dan optimalisasi operasional smelter.

Kartika Oktapiana manajemen PT. AMMAN menjelaskan, saat ini Smelter AMMAN berada dalam tahap komisioning dan proses peningkatan produksi secara bertahap. Kapasitas produksi dinaikkan secara perlahan dengan tujuan untuk mengevaluasi masalah teknis, penyetelan parameter, dan perbaikan kualitas hingga mencapai produksi yang stabil.

Pada paruh pertama 2025, smelter tembaga AMMAN memproduksi 19.805 ton katoda tembaga. Angka ini meningkat dari 635 ton di kuartal pertama menjadi 19.170 ton di kuartal kedua. Namun dalam proses peningkatan produksi, smelter mengalami berbagai kendala teknis, sehingga belum dapat mencapai produksi penuh.

Dalam mengoperasikan smelter, pihaknya mengambil pendekatan konservatif dengan prioritas utama pada faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). “Seringkali kami harus menonaktifkan beberapa mesin dan peralatan untuk memperbaiki berbagai kendala teknis tersebut guna mengurangi resiko kecelakaan kerja. Kami juga berkoordinasi dengan pemerintah mengenai berbagai kendala ini,” akunya.

Untuk diketahui kapasitas desain smelter AMMAN adalah 900.000 ton konsentrat tembaga per tahun. Dari jumlah itu diharapkan menghasilkan sekitar 222.000 ton katoda tembaga per tahun, 830.000 ton asam sulfat, 579 ribu ons emas batangan, 1,8 juta ons perak batangan, dan 77 ton selenium.

Dalam proses komisioning ontribusi smelter terhadap hilirisasi mineral nasional bisa dicapai apabila tumbuh industri turunan di dalam negeri yang menyerap produk-produk dari smelter, antara lain katoda tembaga, asam sulfat, dan logam mulia. Berbagai industri turunan yang dapat menyerap produk-produk ini antara lain industri kabel dan komponen listrik, elektronik, konstruksi, otomotif, kimia dan pupuk, perhiasan, peralatan rumah tangga, hingga energi terbarukan.

Dengan demikian, pertumbuhan industri turunan ini perlu dipercepat agar tidak terjadi kelebihan produksi, yang pada akhirnya akan menyasar pasar global (ekspor).

“Apabila pengembangan industri turunan ini dilakukan dengan baik, maka visi hilirisasi mineral untuk membawa nilai tambah bagi perekonomian dalam negeri akan tercapai,” pungkasnya. (HEN/SR)

nusantara pilkada NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *