SUMBAWA BESAR, samawarea.com (25 September 2025) – Puluhan petinggi Universitas Samawa (UNSA) mendatangi DPRD Kabupaten Sumbawa, Kamis (25/9/25). Kedatangan para akademisi dari kampus tertua ini untuk mempersoalkan Peraturan Bupati (Perbup) Sumbawa Nomor 28 Tahun 2025 tentang Pemberian Beasiswa Pendidikan.
Untuk mencari solusi dari aspirasi ini, digelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang menghadirkan lintas komisi dan dipimpin Wakil Ketua I DPRD Sumbawa, H. Berlian Rayes S.Ag., M.M.Inov. Ikut didampingi Ketua Komisi IV Muhammad Takdir SE., M.M.Inov, Ketua Komisi I Muhammad Faesal S.AP., M.M.Inov, serta dihadiri sejumlah anggota dari lintas komisi. Sementara dari Pemda Sumbawa dikomandani Sekda Dr. H. Budi Prasetiyo S.Sos., M.AP didampingi Asisten I dan Asisten III, Kepala BKAD, dan jajaran terkait lainnya.
Dalam kesempatan itu Koordinator Forum Dosen Universitas Samawa (UNSA), Endra Saifuddin SH MH, menyampaikan kritik tajam terhadap Peraturan Bupati (Perbup) Sumbawa Nomor 28 Tahun 2025 tentang Pemberian Beasiswa Pendidikan tersebut. Endra menilai Perbup tersebut bermasalah secara substansi dan prosedur, bahkan terkesan “cacat hukum”.
Menurut Endra, Perbup ini menimbulkan keresahan bukan hanya di kalangan akademisi, namun juga di antara para anggota DPRD Sumbawa yang selama ini aktif memberikan bantuan pendidikan kepada mahasiswa melalui mekanisme hibah pokok pikiran (pokir).
“Kami datang ke sini bukan untuk konfrontasi, tapi membuka ruang diskusi. Banyak pihak, termasuk kampus-kampus di Sumbawa, merasa khawatir dengan lahirnya Perbup ini. Bahkan, anggota dewan pun merasa dibatasi dalam memberikan beasiswa lewat pokir,” ujarnya.
Kritik paling tajam diarahkan ke Pasal 1 angka 12, yang menurut Endra, menyebutkan secara eksplisit hanya Universitas Mataram (Unram) sebagai penerima beasiswa secara khusus. “Ini menyakitkan bagi kami. Seolah-olah kampus-kampus lokal seperti UNSA, UTS dan lainnya dianggap tak layak. Padahal, kami lahir dan berjuang untuk anak-anak Sumbawa,” tegasnya.
Menurutnya, pencantuman nama institusi pendidikan tertentu dalam regulasi pemerintah daerah adalah bentuk diskriminasi yang tidak relevan dalam semangat kompetisi yang sehat dan adil.
Endra juga menyoroti bahwa penyusunan Perbup ini terkesan terburu-buru dan tidak melalui proses kajian mendalam, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
“Regulasi ini tidak memiliki dasar pertimbangan yang kuat. Saya melihat tidak ada konsideran yang memadai. Ini seperti produk hukum yang disusun hanya untuk menggugurkan kewajiban formalitas semata,” tambahnya.
Ia juga menilai substansi di Pasal 5 ayat 2 huruf b tidak jelas, dan tidak merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku. “Produk ini ngaco. Kalau diuji secara akademik, sangat lemah. Bisa dikatakan, ini regulasi yang layak untuk dibatalkan,” tegasnya.
Kekhawatiran praktis juga disampaikan Endra. Ia menyebutkan bahwa ada puluhan mahasiswa di UNSA yang saat ini menempuh pendidikan tanpa membayar biaya kuliah, karena masih menunggu pencairan dana hibah dari pokir anggota dewan. “Mereka baru akan membayar tahun depan saat dana hibah cair. Kalau dewan jadi takut menyalurkan hibah karena Perbup ini, lalu bagaimana nasib mereka?” ujarnya prihatin.
Endra berharap DPRD Sumbawa segera merespons keresahan ini dengan serius, baik melalui evaluasi Perbup, revisi, bahkan pembatalan jika ditemukan cacat hukum.
Karenanya Ia berharap DPRD Sumbawa tidak hanya menjadi pendengar, tetapi juga menjadi pihak yang aktif mengawal agar regulasi pendidikan berjalan adil, transparan, dan inklusif tanpa diskriminasi terhadap institusi pendidikan lokal. (SR)