Oleh: Nova Aditya
(Akademisi UTS)
Kita semua punya mimpi yang indah seperti menjaga hutan tetap hijau, melihat sungai berkilau bening, dan merasakan udara segar yang menyejukkan paru-paru. Dalam imajinasi kita, bumi yang lestari adalah warisan yang kita berikan untuk anak cucu. Siapa yang tidak ingin hidup di tengah alam yang terjaga?
Namun, mari kita jujur pada diri sendiri. Realitas tidak selalu seindah mimpi. Menjaga alam bukan hanya tentang romantisme menanam pohon atau berfoto dengan latar belakang hutan. Menjaga alam berarti ada harga yang harus dibayar. energi terbarukan yang masih mahal, produk ramah lingkungan yang tidak selalu mudah diakses, atau kesempatan kerja yang hilang bagi mereka yang bertahun-tahun bergantung pada eksploitasi alam.
Di sinilah kita harus belajar melihat perbedaan antara mimpi dan realitas. Mimpi itu penting, karena ia memberi arah. Tetapi realitas adalah ujian. Apakah kita siap berjalan di jalan panjang itu dengan pengorbanan yang nyata?
Romantisme yang Harus Dikawal Realisme
Sering kali kita mendengar jargon “hijaukan bumi, selamatkan alam”. Tetapi, masyarakat kecil sering bertanya, “Apa yang saya makan hari ini kalau besok saya berhenti menebang kayu?” Inilah benturan antara idealisme dan kebutuhan dasar manusia.
Kita tak bisa sekadar melarang. Kita harus memberi alternatif. Petani yang diminta berhenti membakar ladang harus punya cara lain untuk bertani. Nelayan yang diminta tidak memakai pukat harimau harus diberi alat tangkap yang lebih ramah. Dan masyarakat yang diminta berhenti menggunakan plastik harus diberi akses pada kemasan yang murah sekaligus praktis.
Perubahan besar selalu membutuhkan transisi. Tidak ada mimpi yang terwujud dengan instan. Semua butuh proses, strategi, dan peta jalan yang jelas.
Kita boleh bermimpi setinggi langit, tetapi tanpa langkah nyata, mimpi itu hanya akan menjadi slogan.
Mimpi menjaga alam harus dibuat terukur. Bukan sekadar “ingin bumi hijau”, tetapi:
1. Menanam ribuan pohon kemiri sebagai investasi ekologis.
2. Membangun pasar untuk biji kemiri kupas, briket dan minyak kemiri sebagai investasi ekonomi.
3. Menguatkan kelembagaan petani agar mimpi tidak berhenti di lahan, tapi menjelma menjadi gerakan bersama
Dengan begitu, mimpi itu tidak lagi abstrak. Ia menjadi kompas yang membimbing langkah kita setiap hari.
Pertemuan Mimpi dan Realitas
Mimpi tanpa realitas hanyalah utopia. Realitas tanpa mimpi hanyalah rutinitas. Keduanya harus bertemu dalam satu titik yaitu strategi yang menggabungkan visi dengan tindakan.
Kita tidak boleh puas dengan sekadar berkata “kita mencintai bumi”. Kita juga tidak boleh pasrah pada realitas yang berkata “semua ini sulit dilakukan”. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk melangkah, meskipun sedikit demi sedikit.
Menjaga alam adalah perjalanan panjang. Ada tantangan, ada pengorbanan. Tetapi jika kita mampu mengubah cara berpikir, menata langkah dengan terukur, dan membangun transisi yang adil, maka mimpi itu akan menemukan jalannya di tengah realitas.
Pada akhirnya, menjaga alam bukan hanya tentang idealisme, melainkan tentang realita yang kita ubah menjadi masa depan. Sebab, mimpi akan tetap mimpi jika tidak ada keberanian untuk mewujudkannya. (*)





