NAMA “SAMAWA” DAN RELASINYA DENGAN AGAMA LANGIT

oleh -339 Dilihat

Oleh: Lukmanul Hakim, M.Pd. (Dosen Universitas Teknologi Sumbawa)

Judul di atas muncul dari hasil dari semangat diskusi yang dilakukan oleh Sumbawa Insistute di salah satu rumah seorang sahabat. Mungkin saja judul di atas dipandang ‘provokatif’ karena mengaitkan kata “samawa” dan relasinya dengan agama langit. Pembicaraan tentang Slogan Samawa secara sepintas telah diuraikan oleh Hakim dalam tulisannya “Tau Samawa dalam Slogan Sabalong Samalewa” (Radar Sumbawa, 30/01/2015). Hakim mencoba menjelaskan nilai-nilai (value) dan karakteristik masyarakat Sumbawa berdasarkan slogan sabalong samalewa yang tercermin dari bahasa tau Samawa, yakni saling tulung, saling tulang dan saling totang (ST3) – yang istilah ini beberapa kali terucap dan terdengar dari masyarakat kabupaten Sumbawa Barat, khususnya tau’ Taliwang.

Tulisan ini dipandang perlu guna sebagai telaah atas dua sudut pandang, yakni etimologi dan etnologi. Sudut pandang etimologi digunakan karena pola ini berbicara tentang bahasa, tentang asal-usul kata, leksikal, serta perubahan-perubahan, baik dalam bentuk atau makna. Selain etimologi, diperkuat juga dengan cara pandang etnologi yang mencoba melihat pola perubahan dari kebudayaan masyarakat atau penduduk satu daerah secara komparatif, di mana unsur-unsur sejarah dan evolusinya dapat menjadi bagian dari pembicaraan. Dengan “sengaja” menggunakan dua sudut pandang ini, mengingat kata “samawa” masih tetap digunakan oleh masyarakat dalam urusan kelembagaan dan publik (baca: ikon sumbawa) dalam berbagai interaksi sosial kehidupan bermasyarakat. Sebagai sebuah bahasa, kata “samawa” tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan culture – budaya masyarakat Samawa yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Minimnya literasi tentang Sumbawa membuat banyak kalangan termasuk penulis merasa ‘perlu mencari cara’ untuk menemukan tema tentang kata ‘samawa’. Beberapa literatur tentang Sumbawa masih berkisar tentang kerajaaan Sumbawa dan diplomatisnya dengan kerajaan Bugis dengan perjalanan panjangnya. Hidup dan menghidupkan saat diselami. Hingga tulisan ini diterbitkan, belum ada penjelasan yang kompleks dan detail dari mana sumber dan muasal kata “samawa”, atau karena keterbatasaan bacaan penulis tentang buku-buku kesumbawaan hingga nyaris tidak terungkap makna yang di kandung di dalamnya.

Literatur tentang kata “samawa” berbeda halnya dengan kata “lombok” yang dalam sejarahnya, kerajaan Sumbawa memiliki hubungan diplomatis yang baik dengan kerajaan Selaparang di Lombok Timur, khususnya dalam proses penyebaran Islam. Nama “Lombok” sendiri sebutan untuk menyebut pulau Lombok yang di dalamnya terdapat suku mayoritas, yakni suku Sasak. Dalam bahasa Sasak, Lombok disebut “lombo” yang berarti lurus, jujur dan tindih. Bahkan beberapa catatan historis tentang Sasak dan Lombok termaktub dalam kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca yang isinya memuat tentang kekuasaan Kerajaan Majapahit (https://budaya-indonesia.org/). Karena kitab itu, pada tahun 2013 UNESCO menetapkannya sebagai Warisan Ingatan Dunia. Kitab tersebut menyebutkan sebuah kutipan berupa “Lombok Mirah Sasak Adi”; lombok artinya lurus atau jujur, mirah artinya permata, sasak artinya kenyataan, dan adi artinya baik. Dan secara keseluruhan dapat bermakna bahwa kejujuran adalah permata kenyataan yang baik dan utama” (https://id-id.facebook.com/Kemdikbud.RI).

Baca Juga  Selamatkan Madu, Sobi UTS Tanam Binong

Sebagaimana diketahui bahwa Islam di Lombok pertama kali tidak tersebar dari Jawa sebagaimana yang dipahami sebagai kalangan. Hal ini dapat dianalisis dengan jalur penyebarannya. Di sebelah Barat pulau Lombok sendiri dibatasi oleh laut yang langsung berhadapan dengan pulau Dewata, Hindu Bali. Dengan demikian, proses penyebarannya akan terhalang karena akan berhadapan dengan orang-orang Bali. Islam di Lombok berasal dari wilayah Timur, yakni Makasar – Sulawesi, yang disebarkan oleh para ulama melalui proses perdagangan yang ketika datang ke Lombok harus melewati selat Alas – Sumbawa.

Nama “samawa” berdasarkan beberapa sumber lisan menyebutkan berasal dari bahasa Arab. Kata “samawa” sendiri berasal dari kata “as-sama” yang bearti langit. Yang lain juga juga menyebutkan “samawa” sebagai akronim atas harapan dari doa pernikahan, yakni “sakiinah” artinya tenang, tentram; “mawaddah” artinya cinta dan harapan; sedangkan “warahmah” diartikan dengan kasih sayang. Kata-kata tersebut merupakan penjelasan dari tafsiran terhadap Q.S. Ar-Rum: 21. Kata “Samawa” ini kemudian dikembangkan menjadi tagline doa pernikahan sebagai singkatan dari kata sakiinah, mawaddah, dan warahmah.

Sebagai akronim bahasa dari agama langit, kata ‘langit’ selalu dikaitkan dengan nilai-nilai dari ajaran Tuhan yang sudah dijelaskan dalam kitab-kitab-Nya. Hal ini dapat dilihat dari arti atau makna “samawi”, yakni nama tuhan yang sudah jelas/pasti, diketahui penyampai risalahnya (nabi/rasul), serta adanya kumpulan wahyu berupa kitab suci. Langit juga dikaitkan dengan agama-agama Samawi, yakni Yahudi, Kristen dan Islam.

Selain dari bahasa Arab, kata “samawa” sendiri berasal dari akronim bahasa asli Sumbawa, yakni akronim yang terdapat dalam slogan sabalong samalewa yang memiliki makna “kebersamaan”. Kebersamaan ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa di bagian pedesaan. Semangat slogan sabalong samalewa yang berarti saling membahu dan bekerjasama – memikul yang berat dan menjinjing yang ringan. Dengan demikian, makna Samawa sebagai bahasa langit (sama’), Samawa sebagai akronim dari sakiinah, mawaddah, dan warahmah, dan Samawa sebagai cerminan dari slogan sabalong samalewa mengandung arti yang mendalam terhadap keseluruhan aktivitas dan cerminan pribadi tau samawa.

Penyebutan kata samawa sebagai kronologis atas tradisi-tradisi yang berlaku di masyarakat Sumbawa. Sebutaan sama’ merujuk pada kepribadian dan budaya-budaya yang ada dalam masyarakat. Sedangkan, penyebutan Sumbawa merujuk pada wilayah demografis dari pulau Sumbawa. Sebagaimana diketahui bahwa NTB memiliki dua pulau dengan beragama suku. Lombok dihuni oleh mayoritas suku Sasak dan pulau Sumbawa, yakni Samawa dan Mbojo.

Baca Juga  Siswa SMAN 1 Plampang Dilarang Bawa Motor dan HP

Sebagai bahasa langit, setiap pribadi harus memberi kabar (rungan) yang baik untuk dirinya sendiri dan kepada orang lain. Kabar yang baik bagi diri sendiri seperti: tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai tuhan dan masyarakat. Sedangan untuk kepada orang lain lebih bersifat kabar yang benar-benar pasti dan dapat dipercaya dari satu berita. Kabar yang benar dalam bahasa samawa disebut dengan rungan tetu, artinya setiap pribadi harus menujukan kabar yang benar-benar dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan (tubausadu) ataupun informasi yang mengembirakan (rungan balong). Dalam kaitannya, rungan tetu sangat diharapkan agar tidak terjadinya percekcokan dan perpecahan di tengah masyarakat karena salah memberikan informasi.

Setiap pribadi tidak diperkenankan menyampaikan berita yang meragukan (rungan pongang), termasuk juga runga lenge (berita jelek), rungan no tuku (kabar yang simpang siur), papu rungan (kabar masih ragu untuk diceritakan karena bersifat sepotong-potong), lebih-lebih kabar yang tidak benar/bohong (rungan bola) yang biasa dikatakan di tengah masyarakat dengan bahasa no tubausadu (tidak dapat dipercaya). Semangat-semangat dari bahasa langit dalam kaitannya dengan informasi atau berita disebutkan dalam Al Quran surat Al-Ahzab [33] ayat 70 yang artinya “Sampaikanlah perkataan yang benar” (Majalah Rungan Edisi 09, 2014).

Jika, setiap pribadi mampu memberikan kabar yang baik di tengah kehidupan masyarakat, maka akan terciptalah suasana dalam rasa saling  memahami dan sikap toleransi. Pribadi-pribadi yang berintegritas akan memunculkan komunitas-komunitas kebaikan yang sesuai dengan semangat yang ingin dibagun oleh masyarakat Sumbawa, yakni semangat baremak ke aman, nyaman, tenang.
Masyarakat Sumbawa dalam kebudayaannya sangat menghargai semangat kebersamaan, gotong royong dan sikap “mau” mengerti keadaan orang lain, termasuk orang luar yang baru datang ke Sumbawa. Hal ini terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam aktivitas bercocok tanam. Kegiatan-kegiatan kebudayaan seperti acara perkawinan (pengantin), akikah, dan khitan (besunat) masih menjaga tradisi dari slogan sabalong samalewa.

Samawa sebagai sebuah nama yang dihasilkan dari kesepakatan telah memberikan konsekwensi bahwa tau samawa menjadikan ajaran-ajaran agama Samawi menjadi budaya yang hidup dan terus terpelihara. Falsafah “adat barenti ko sara’, sara’ barenti ko kitabullah” adalah manifestasi atas perilaku dan kebiasaan tau samawa.  Pada akhirnya, tulisan ini sebatas opini penulis yang dirangkum dari catatan perjalanan penulis dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat tau samawa. Tentu saja akan ada kritikan yang membangun guna menambah literasi tentang kesumbawaan. (*)

pilkada mahkota mahkota rokok NU
Azzam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *