Sumbawa Gemilang?, Itu Sangat Sulit, Kecuali Dengan Dua Kata Kunci Ini

oleh -68 Dilihat

Oleh : Heri Kurniawansyah HS (Dosen Fisipol UNSA)

Membaca judul diatas mungkin banyak pembaca yang akan memberikan lebel “pesimis” kepada penulis. Namun sebagai bentuk tanggung jawab akademik untuk menyampaikan analisis-analisis berbasis scientific, penulis secara inklusif dan jujur menyatakan bahwa mencapai kata “gemilang” itu memang sangat sulit, karena akan ada banyak aspek yang harus dipenuhi untuk mencapat titik yang diorientasikan tersebut.

Namun demikian, dalam tulisan ini, penulis juga memberikan argumentasi mengenai peta jalan untuk
mencapai visi misi yang telah disodorkan ke publik secara konkrit. Kita mulai saja dengan kesepakatan awal mengenai indikator Sumbawa Gemilang itu apa saja?.

Jika 10 program unggulan Mo-Novi yang sudah disodorkan ke publik adalah indikator pencapaian Sumbawa Gemilang, maka dalam konteks ini, ada beberapa analisis penulis berbasis scientific yang menjelaskan betapa sulitnya mencapai Sumbawa Gemilang seperti yang ramai digembosi melalui berbagai media saat ini. Mengapa itu terjadi, perhatikan baik-baik analisis di bawah ini:

1. Dari sisi anggaran, terjadi ketidakstabilan APBD Kabupaten/kota akibat beragam kebijakan yang sifatnya aksidental/tanpa rencana oleh faktor adanya Covid 19, sehingga program-program/proyek strategis yang terencana banyak yang tertunda.

Perbandingannya adalah APBD yang normal saja pembangunan masih timpang apalagi dengan adanya pengurangan APBD. Penjelasannya adalah pendapatan daerah melalui PAD pada tahun 2019-2020 berkurang 10,43 % dari targetnya. Kejadian yang sama pun terjadi pada pendapatan dana perimbangan dari pusat melalui skema DAU, DAK, dan Dana Bagi Hasilnya, yaitu sebesar 12,40 %.

Artinya bahwa jika diakumulasi, maka terjadi pengurangan APBD Sumbawa sebesar 17,37%. Persentase tersebut merupakan angka signifikan, sehingga formulasi penggunaan anggaran pasti akan berkurang di Belanja Pembangunan/Belanja Langsung, sebab format “Belanja Tidak Langsung” tentu tidak bisa diganggu lagi, bahkan semakin bertambah dengan adanya bantuan sosial (bansos) tidak terduga, serta pengeluaran lainnya.

2. Dari sisi durasi, kemungkinan besar mereka akan memerintah hanya dalam kurun 3,5 tahun (meskipun masih dalam perdebatan), itupun akan ada adjustment process yang akan menghabiskan waktunya di awal-awal memerintah. Pertimbangan kuatnya adalah bahwa yang dua periode saja (10 tahun) menjabat masih banyak janji politiknya tidak terlaksana, apalagi hanya jika cuma 3,5 tahun, terlebih dengan 10 program yang terlalu spektakuler.

Tentu kita bisa bertanya, “jangan samakan dengan pemimpin sebelumnya dong”, tetap saja pertimbangan ilmiahnya adalah melaksanakan urusan daerah dengan beragam janji politik sangat sulit terwujud dengan durasi yang singkat, apalagi aspek kemampuan manajerial pemimpin beserta komitmennya menjadi faktor yang paling mendasar.

3. Dari sisi policy (kebijakan), bahwa banyak kebijakan yang tiba-tiba dikeluarkan oleh pusat di masa pandemi ini, beban anggarannya sepenuhnya diserahkan ke daerah. Aspek inilah yang menjelaskan mengapa APBD tadi mengalami pengurangan secara signifikan.

4. Dari sisi reformasi birokrasi, Mo-Novi dikelilingi oleh partai dan tim sukses yang cukup gemuk. Secara politis tentu mereka memiliki kepentingan yang pragmatis dari kemenangan Mo-Novi, konsekuensinya adalah mereka sudah memetakan jatah-jatahanan, baik tentang jabatan maupun proyek strategis. Pada posisi ini belum tentu yang mengisi jabatan adalah mereka yang memiliki kualifikasi di bidangnya, maka pada posisi ini stabilisasi pelaksanaan kebijakan semakin terganggu.

Baca Juga  Siswa dan Sekolah Berprestasi Diberikan Reward

5. Jika pemerintah daerah berharap banyak ke pemerintah desa untuk mendorong visi misi kepala daerah, ingat bahwa desa saat ini bukan lagi sebagai local state government, melainkan sebagai self local government yang berdiri sendiri melalui UU No 6 Tahun 2014, yang tentunya posisinya sejajar di mata pemerintah pusat, apalagi pemdes merasakan posisi yang sama seperti pemda, khususnya dalam stabilisasi anggaran.

Lalu, apakah dengan penulis menguraikan 5 alasan diatas, lantas pembangunan di Sumbawa tidak akan terjadi meskipun dalam durasi waktu 3,5 tahun?. Jawabannya adalah pembangunan itu pasti ada, siapapun pemipinnya, sebab tidak mungkin pemimpin yang memerintah saat ini akan membangun sesuatu yang sudah dibangun oleh pemimpin sebelumnya, maka pada posisi ini pasti akan ada perbedaan obyek yang dibangun.

Namun konteks analisis pembangunannya disini bukan terletak pada apa yang pemimpin bangun saat ini, melainkan sejauh mana indeks pembangunan tercipta dari pemimpin saat ini dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya. Itulah narasi ilmiahnya.

Kita coba ilustrasikan seperti ini, misalnya pemimpin sebelumnya mampu mengurangi pengangguran 5 %, lalu pemimpin saat ini hanya mampu mengurangi pengangguran pada angka 4,5 %. Artinya pengurangan pengangguran itu terjadi, cuma angkanya di bawah pemimpin sebelumnya. Lalu apakah hanya karena pemimpin yang sekarang mampu mengurangi pengangguran pada angka 4,5 %, lantas ramai-ramai kita bertepuk tangan sambil megatakan “Sumbawa Gemilang”?. Inilah yang dimaksud penulis bahwa untuk menganalisis pembangunan itu tidak bisa kita lihat dari obyek apa yang dibangun, melainkan pisau analisisnya terletak pada kadar/indeks pembangunannya meningkat atau menurun.

Analisis di ruang inilah yang selama ini luput dari pantauan kita oleh karena kita terlalu sibuk dengan gimik-gimik sebuah proses, yang kebetulan ramai diberitakan di media masa. Lantas bagaimana strategi pelaksanaan pembangunan dengan durasi yang singkat serta dengan kondisi anggaran yang belum memadai?.

Berikut penulis paparkan analisisnya melalui dua kata kunci rasional sebagai bahan pertimbangan dalam memimpin Sumbawa kedepan.

1. Mendesain Formulasi Kebijakan Anggaran Secara Radikal

Sebagai pengetahuan dasar, pertama-tama yang harus dipahami oleh mereka yang memimpin adalah mereka harus memahami secara detail tentang sumber-sumber pendapatan daerah itu darimana saja, dan dari sumber itu, aspek mana saja yang bisa
dikembangkan agar menjadi aspek penambah APBD.

Dalam rumusan kebijakan anggaran, terdapat dua sumber mendasar APBD, yaitu PAD (pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan lainya) dan Dana Perimbangan pusat dan daerah (DAU, DAK, dan Dana Bagi Hasil). Sisanya menjadi bonus, berupa Dana Insentif Daerah (DID) apabila seorang leader mampu menjalankan kebijakan anggaran secara wajar melalui pembuktian opini BPK, dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID). Dari semua aspek tersebut, yang berpeluang bisa ditambah atau dikembangkan adalah PAD melalui strategi internal pemerintah daerah, DAK melalui rumusan agenda pemerintah pusat, bisa juga melalui relasi yang kuat antara kepala daerah dengan pemerintah pusat, DID melalui prestasi kepala daerah, dan DPPID melalui aspek politik.

Mengapa itu penting dilakukan, karena hanya melalui 4 aspek itulah peluang APBD meningkat, dan yang paling rasional untuk penambahan tersebut adalah melalui aspek PAD dan DID. PAD bergerak pada aspek internal kemampuan seorang pemimpin, dan DID pada aspek eksternal kemampuan seorang pemimpin.

Baca Juga  "KoinUntukLombok" Distribusi 27 Kambing dan 9 Sapi Bagi Korban Gempa Lombok

Setelah kita memahami rasionalitas sumber anggaran, langkah selanjutnya adalah mendesain secara detail strategi penggunaan anggaran yang ada untuk pembangunan skala prioritas dari visi misi/program unggulan kepala daerah. Strateginya adalah merealokasikan aspek Belanja Tidak Langsung secara radikal untuk digeser ke Belanja Pembangunan.

Memang aspek ini beresiko secara politik, terutama memicu konflik antara eksekutif dengan legislatif, sebab akan memicu pengurangan peluang pada aspek politik untuk mencari keuntungan pribadi. Ingat, bahwa siklus pendapatan daerah yang
minim serta kebutuhan daerah yang terlalu banyak membuat kita harus memaksakan diri untuk melakukan efisiensi secara detail dengan cara re-alokasi atau re-focusing Belanja Non-Pembangunan/Belanja Tidak Langsung, lalu rumuskan baik-baik aspek mana yang bisa diefisiensikan, sehingga sisa efisiensi itu bisa bertambah pada aspek Belanja Pembangunan, maka pada posisi ini input pembangunan semakin bertambah amunisinya.

Efektivitas dan efisiensi inilah yang menjadi indikator utama adanya penambahan anggaran untuk pembangunan daerah. Lalu apakah ilustrasi ini bisa dilakukan oleh kepala daerah?, pasti bisa. Secara detail penjelasannya ada pada kata kunci kedua di bawah ini.

2. Mendesain Reformasi Birokrasi Berbasis Meritokrasi

Aspek reformasi birokrasi memang sangat luas, namun dalam aspek ini, penulis sangat penting memfokuskan kajiannya pada re-desain distirbusi aktor sebagai salah satu unsur utama reformasi birokrasi. Hal ini wajib dilakukan, sebab tidak mungkin hasil dari desain kebijakan anggaran yang dibuat tadi bisa dilaksanakan dengan baik jika pelaksananya (aktor) banyak masalah.

Pelaksana yang dimaksud adalah birokrasi itu sendiri. Pastikan saja bahwa jika aspek birokrasi tidak berkompeten dan tidak komit terhadap tugasnya, maka secanggih apapun strategi awal tadi, tetap saja akan mendapatkan hasil yang nihil. Maka strategi yang bisa penulis narasikan pada aspek reformasi birokrasi adalah kepala daerah harus mampu menciptakan pemimpin di level menengah, seperti kepala OPD, dan tenaga fungsional yang memang mampu menginterpretasikan isi otak kepala daerah (visi misi) dalam sebuah aksi strategis. Sehingga orang-orang tersebut harus ditempatkan dan diperintahkan menjalankan tugasnya sesuai dengan kepakarannya. Aspek inilah yang disebut dengan meritokrasi.

Setelah itu, atur manajemen birokrasi dengan baik, bisa melibatkan pihak Non Government dalam menjalankan semua orientasi kebijakan/program. Selanjutnya buat indikator kerja sebagai dasar evaluasi program, dan perbaiki atau terminasi kebijakan
jika hasil evaluasi kebijakan salah.

Disinilah kita akan melihat kecerdasan, kewibawaan, dan komitmen seorang pemimpin, apakah mereka mampu menjalankan kata kunci yang ke dua ini. Jika memang tidak mampu, maka seyakin-yakinnya pemerintah hanya akan kembali ke masalah-masalah klasik pemerintah daerah, yaitu melakukan rutinitas biasa saja.

Sebaliknya, jika siklus ini mampu dijalankan, maka indeks pembangunan pasti akan naik.  Pada saat itulah satu persatu program tersebut akan bisa dicicil dan terlaksana. Ingat kedua kata kunci itu harus berjalan bersamaan, pilihan dan komitmennya ada pada Mo– Novi. (*)

pilkada mahkota mahkota rokok NU
Azzam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *