Husni Jibril: Terimakasih Telah Meletakkan Standar “Gemilang” itu Begitu Tinggi

oleh -121 Dilihat

Oleh : Heri Kurniawansyah HS (Dosen FISIPOL UNSA, dan Ketua Bidang Politik dan Organisasi Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Sumbawa)

Berangkat dari berbagai analisis penulis terhadap ragam isu kebijakan dan pemerintahan, yang selanjutnya menjadi berbagai tulisan-tulisan di berbagai media, secara holistik semuanya berisi tentang konsep, alur pikir, paradigma, dan bahkan kritikan kepada
pemerintah, terutama pemerintah daerah (local government), khsususnya dari sudut pandang policy yang tentunya lahir dari berbagai analisis berbasis teori, data empiris, dan evidence based. Meskipun demikian, secara obyektif penulis juga tentu tidak lupa mengapresiasi berbagai capaian keberhasilan pemerintah jika itu pantas untuk diapresiasikan.

Tulisan ini secara garis besar mencoba menggenitkan sebuah senyuman pada wajah Kota Sumbawa saat ini menuju 5 tahun kepemimpinan Bapak Husni Jibril. Salah satu variabel penting dalam tulisan ini adalah kata “gemilang” itu sendiri. Kata
gemilang itu sendiri viral di berbagai percakapan publik ketika seorang tokoh Sumbawa membawa tagline “NTB Gemilang” dalam perhelatan politik lokal NTB, yang selanjutnya kata gemilang itu menjadi sebuah kata yang begitu populer di wilayah NTB, khususnya di Kabupaten Sumbawa sebagai daerah asal tokoh yang memenangkan kompetisi pada level gubernuran itu. Pendeknya tiada hari tanpa kata “gemilang”, apalagi di media sosial, seolah-olah kata “gemilang” itu memiliki daya magis yang amat kuat.
Magisnya kata gemilang itu pula yang digunakan oleh salah satu Paslon Bupati pemenang sementara di Pilbup Sumbawa tahun 2020 kemarin.

Rupanya tagline tersebut seperti memiliki ruang khusus di hati publik dan selalu berterima dengan psikologi masyarakat pemilih. Namun anehnya, sampai detik ini belum ada yang mampu memberikan jawaban rasional apa sebenarnya indikator, standar ataupun tolak ukur “gemilang” dalam program pemerintah itu sendiri, bahkan mereka yang berada di lingkaran kekuasaan pun belum mampu memberikan argumentasi ilmiahnya tentang kata gemilang itu. Maka pada ruang inilah letak kritkannya. Publik selama ini hanya senang menyebutnya dalam percakapan sehari-hari saja, akan tetapi susbstansi dan standarnya sungguh tidak dipahami,
sebab sampai saat ini memang standarnya juga tidak jelas. Jika memang demikian adanya, apakah program yang baik-baik itu dapat disebut gemilang atau haruskah memiliki riwayat tersendiri sehingga pantas disebut gemilang, semuanya pun belum jelas.

Perlu penulis afirmasikan agar kita tidak sekedar suka-sukaan dan asal-asalan menyebut sebuah tagline, apalagi jika hal tersebut berhubungan dengan kebijakan. Maka dalam studi kebijakan, standar dan tolak ukur itu menjadi dimensi utama sebuah program
kerja atau visi misi pemerintah, apakah pantas atau tidak dikatakan berhasil, semuanya tergantung pencapaian memenuhi standar yang dimaksud. Jika standar dan ukurannya tidak jelas, maka pola kerja kebijakan itu menjadi sangat liar, bebas, dan menegasikan analisis dan formulasi kebijakan (perencanaan) dalam pola kerja pemerintah itu sendiri. Ingat, standar dan tolak ukur itu bukan terletak pada perencanaan dan proses, melain terletak pada hasil (output, outcome dan impact).

Baca Juga  DPRD Jateng Menimba Ilmu di DPRD NTB

Lalu apa kaitan Husni Jibril dengan Tagline “Gemilang” itu?
Jika memang kata gemilang itu memiliki makna semacam terjun bebas saja selagi itu baik, maka penulis kira, pemimpin yang akan dilantik mendatang, suka tidak suka, penting tidak penting, dan wajib tidak wajib harus melampaui pencapaian pembangunan ala Husni Jibril yang hanya memimpin satu periode saja. Dalam kacamata politik, memimpin hanya dalam satu periode dengan berbagai proses politis yang dilalui, namun hasilnya cukup signifikan dan bisa dirasakan oleh publik secara holistic, itu adalah sebuah pencapaian yang patut diapresiasi oleh siapapun.

Saat ini, penulis menyaksikan bahwa Sumbawa sudah mulai terlihat unsur dan wajah “kota” nya dibandingkan sebelumnya. Wajah kota itu terkesan seperti kota-kota lainnya di Pulau Jawa, yaitu jalan perkotaan (protocol) sudah mulai tertata dan rapih, wajah pasar dan rumah sakit yang mulai membaik, wajah bandara yang terbilang cukup bagus, jalan-jalan ke wilayah kecamatan sudah mulai ditata meskipun masih banyak PR besar yang harus dituntaskan kedepan, terutama masalah softside of change, pertanian, ekonomi, masalah sampah, lingkungan hidup, infrastruktur jalan ke kecamatan-kecamatan tertentu, dan seterusnya.

Kembali lagi bahwa dalam satu periode seorang memimpin dengan pencapaian yang cukup monumental itu sudah luar biasa, bahwa ada kekurangan dan belum tuntas berbagai persoalan yang ingin diselesaikan itu pasti terjadi, siapapun dia. Dalam studi government, bahwa salah satu indikator sederhana sebuah pembangunan di sebuah wilayah tingkat II, ketika wajah infrastruktur yang paling urgen bagi publik terlihat bagus dan wajar, maka sudah barang tentu secara sederhana pembangunan itu terlihat.

Apa infrastruktur yang paling urgen bagi publik yang dimaksud itu?, yaitu terminal, pasar, rumah sakit, dan jalan raya. Dalam satu periode kepemimpinan Husni–Mo, aspek itu cukup berhasil diperbaiki, tentu ini pencapaian yang patut diapresiasikan. Masyarakat Sumbawa sudah lama memimpikan rumah sakit dan pasar yang layak, saat ini hal tersebut mulai diwujudkan meskipun belum tuntas, paling tidak secara fundamental sudah diletakkan oleh pemerintahan Husni Jibril. Nah apakah hal tersebut pantas disebut gemilang, meskipun Husni Jibril sendiri tidak pernah membawa tagline “gemilang” itu sendiri?.

Baca Juga  Usung Husni—Ikhsan, PDIP Klaim Berkoalisi dengan PAN   

Jika berangkat dari indikator gemilang yang justru belum jelas dan bisa kita interpretasikan sebebas mungkin, maka menurut penulis Husni Jibril telah mampu meletakkan standar “gemilang” begitu tinggi di Sumbawa. Selanjutnya bagi pemimpin yang akan dilantik kedepan, apalagi kata “gemilang” itu selalu dibawa kemanapun pergi, maka tentu ini menjadi tantangan yang amat besar, sebab pembangunan ke depan harus melampau pembangunan yang telah diletakkan dan dilakukan oleh pemimpin sebelumnya yang penulis kira memang cukup signifikan.

Opsi lain yang bisa digunakan dalam mencapai kata gemilang itu juga bisa dengan membuat standar atau tolak ukur yang jelas dari pemimpin yang akan datang, agar perspektif pembangunan itu tidak berstandar pada pemimpin sebelumnya. Namun jika standar itu tidak bisa dideskripsikan dengan ilmiah oleh pemimpin yang selalu membawa tagline gemilang itu sendiri, lalu bagaimana caranya gemilang itu bisa diwujudkan seperti narasi yang selalu disampaikan ke telinga publik selama ini. Maka pada posisi ini kata gemilang itu benar-benar dipermainkan maknanya oleh para penguasa, yang selanjutnya kata itu akan menjadi kata penyejuk tanpa makna dan usang dengan sendirinya di ruang publik.

Tibalah pada titik kesimpulan, sederhananya adalah jika pemimpin yang akan dilantik akan datang tidak mampu melampaui standar yang diletakkan oleh pemimpin sebelumnya, maka justru yang “gemilang” itu adalah Husni Jibril, meskipun tagline itu tidak pernah ia sebut dalam argumentasi politiknya selama ini. Mengapa demikian?, karena terdapat pembanding sebagai tolak ukur hingga bersepakat memutuskan siapa yang mencapai standar dan tidak. Artinya, jika standar pembangunan yang diletakkan pemimpin sebelumnya tidak mampu dilampaui oleh pemimpin kedepan, maka justru yang pantas mencapai standar
gemilang itu adalah orang yang sama sekali tidak pernah menyebut gemilang itu sendiri.
Selamat membangun untuk Sumbawa kedepan. (HK)

pilkada mahkota rokok NU
Azzam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *