SUDAH SIAPKAH INDONESIA DALAM PENGELOLAAN LIMBAH INFEKSIUS (LIMBAH B3) DARI PENANGANAN COVID-19?

oleh -156 Dilihat
Haryandi, ST., M.Eng. Ketua Pusat Studi Terapan K3 dan Lingkungan (PST K3L) Universitas Teknologi Sumbawa

Oleh: Haryandi, ST., M.Eng., (Ketua Pusat Studi Terapan K3 dan Lingkungan (PST K3L) Universitas Teknologi Sumbawa)

samawarea.com (14 April 2020)

Jumlah kasus Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di seluaruh kian bertambah. Lebih dari 200 negara terah terinfeksi dengan jumlah kasus per 11 April 2020 sejumlah 1.697.225 kasus positif, paseien sembuh sejumlah 376.106 orang, dan 102.659 orang telah meninggal dunia. Sedangkan khusus untuk Indonesia, berdasarkan data Gugus Tugas Penanganan Covid-19 per 10 April 2020, pukul 16.00, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 3.512 pasien, dengan pasien meinggal 306 orang, dan sembuh sejumlah 282 orang. Akumulasi jumlah kasus positif virus corona (Covid-19) di Indonesia terus meningkat, hingga mendekati peningkatan lebih dari 300 kasus baru tiap hari.

Berbagai upaya pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 telah dilakukan mulai dari kebijakan meliburkan sekolah, bekerja dari rumah, kewajiban penggunaan masker, social distancing, dan lainnya. Salah satu jalur penyebaran virus lainnya yang terkadang jarang diperhatikan adalah pengelolaan limbah medis infeksius dari penanganan Covid-19 termasuk rumah tangga dimana terdapat Orang Dalam Pemantauan (ODP) atau Pasien Dalam Pemantauan (PDP).

Berkaca pada kota Wuhan, China, saat kasus Covid-19 melanda kota ini, volume limbah medis naik 6 kali lipat dari 40 metrik ton menjadi 240 metrik ton per hari. Besarnya limbah medis tersebut, menjadi salah satu permasalahan tersendiri dikarenakan dapat memperbesar penyebaran Covid-19. Berbagai upaya dilakukan pemerintah Wuhan saat itu untuk mengatasi permasalahan limbah medis, pada akhir Januari, kementrian Ekologi dan Lingkungan China mengeluarkan pedoman tentang layout sentralisasi pabrik pengolah limbah, menyediakan stasiun insenerator mobile untuk sampah medis, dan menambah alat insinerator di rumah sakit sementara. Insinerasi menjadi metode pilihan terbaik untuk menangani limbah infeksius, dikarenakan pembakaran dapat membunuh virus dengan sangat efektif dan dapat mengurangi jumlah limbah medis, tidak seperti steam microwave atau steam autoclaving. Selain itu, limbah medis yang diproduksi di Wuhan juga diizinkan untuk dikirim ke kota-kota terdekat untuk diolah.

Risiko infeksi silang membuat pengelolaan limbah medis menjadi pekerjaan yang sangat berbahaya. Upaya yang dilakukan untuk pekerja dilengkapi APD lengkap mulai dari masker, apron, boot, dan baju khusus. Pekerja di pabrik bekerja dalam 3 shift untuk memastikan pabrik beroperasi tanpa henti dan semua pekerja di pabrik pengolahan limbah tinggal di kamar hotel yang dibayar oleh perusahaan dan pemerintah, karena takut menyebarkan virus kepada anggota keluarga.

Baca Juga  Sangat Disayangkan, Kabar Penghentian Beasiswa Luar Negeri oleh Pemprov NTB

Bagaimana dengan Pengelolaan Limbah Medis Covid-19 di Indonesia?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan pedoman pengelolaan limbah tersebut. Pedoman itu termuat dalam Surat Edaran Mo.SE.2/MLHK/PSLB3/P.LB3/3/ 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) tertanggal 24 Maret 2020. Surat edaran ini merupakan pedoman bagi pemerintah yang mencakup penanganan pada tiga ruang lingkup, yakni limbah infeksius yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, limbah infeksius yang berasal dari rumah tangga dan terdapat Orang Dalam Pemantauan (ODP), dan sampah rumah tangga serta sampah sejenis sampah rumah tangga.

Dalam surat edaran tersebut, rumah sakit atau instansi kesehatan lainnnya, sebelum dibuang limbah medis dari COVID-19 perlu penanganan melalui sejumlah langkah. Pertama, limbah medis infeksius yang dihasilkan harus disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan. Limbah medis infeksius itu kemudian dimusnahkan. Ada dua alternatif cara memusnahkan limbah medis yang dihasilkan, pertama menggunakan incinerator dengan suhu pembakaran minimal 800 derajat celcius atau menggunakan autoclave yang dilengkapi dengan mesin pencacah atau shredder. Selanjutnya residu hasil pembakaran atau pencacahan itu kemudian dikemas dan dilekati simbol “Beracun” dan label Limbah B3 yang selanjutnya disimpan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 sebelum diserahkan kepada pengelola Limbah B3. Sedangkan untuk limbah B3 rumah tangga perlu penanganan khusus, khusunya limbah APD berupa masker, sarung tangan, serta baju pelindung diri harus dikemas tersendiri menggunakan wadah tertutup dan diberi tulisan “Limbah Infeksius”.

Untuk menghindari timbunan sampah masker, masyarakat yang sehat diminta untuk menggunakan masker yang bisa dipakai ulang. Jika harus memakai masker sekali pakai, maka sebelum limbah masker dibuang diwajibkan untuk merobek atau memotong terebih dahuulu sebelum dibuang ke tempat sampah untuk menghindari penyalahgunaan. Di ruang publik, pemerintah daerah diharuskan menyediakan tempat sampah khusus untuk membuang masker bekas. Kemudian, petugas dari dinas yang bertanggung jawab di lingkungan hidup, kebersihan, dan kesehatan, melakukan pengambilan secara rutin dari setiap sumber untuk diangkut ke lokasi pengumpulan yang telah ditentukan sebelum diserahkan ke pengolah limbah B3. Petugas kebersihan yang bertugas mengangkut sampah juga wajib dilengkapi dengan APD berupa masker, sarung tangan, dan safety shoes yang harus didisinfektasi setiap hari.

Baca Juga  Penerapan Sistem KIP di Sumbawa Dipuji

Potensi Permasalahan Penanganan Limbah Infeksius (Limbah B3) dari Penanganan Covid-19

 Surat edaran yang disampaikan KLHK berisi himbauan tentang penangan limbah infeksius Covid-19 dirasa perlu disosialisasikan lebih luas ke masyarat. Kekhawatiran terhadap penyebaran Covid-19 melalui limbah infeksius cukup beralasan, dimana di masyarakat dan rumah sakit belum sepenuhnya memahami pemilahan sampah sesuai dengan jensnya. Penyalahgunaan masker yang telah terpakai digunakan kembali, penggunaan APD bagi petugas limbah medis, dan cara pemusnahannya perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Di satu sisi, kesiapan peralatan insinerator terhadap lonjakan permintaan pemusnahan limbah medis perlu mendapat perhatian serius. Insinerator dengan suhu pembakaran 800 derajat celcius tentunya memerlukan bahan bakar dan biaya cukup tinggi. Ketersediaan insinerator jenis ini belum tentu dimilki oleh semua rumah sakit di Indonesia. Ditambah lagi, khusus wisma atau lokasi tempat isolasi ODP dan PDP pastinya belum tentu memiliki insinerator dengan spesifikasi yang dipersyaratkan.

Permasalahan selanjutnya, terkait ketersediaan dan kesiapan alat pelindung diri bagi petugas limbah medis infeksius adalah hal krusial. Petugas limbah medis setiap hari akan bersentuhan dengan potensi penyebaran Covid-19 baik dari limbah pasien maupun peralatan tim medis yang kontaminasi dengan virus tersebut. Berkaca kepada Wuhan, China, setiap pihak harus secara serius memperhatikan penanganan limbah ini agar pemutusan rantai penyebaran Covid-19. Pemerintah, rumah sakit, pabrik pemusnahan limbah, dan masyarakat bersama-sama memastikan limbah medis infeksius terkelola dan dimusnahkan dengan baik, kita berharap Covid-19 hilang dari muka bumi. Mari kita disiplin dalam setiap usaha pemutusan rantai Covid-19, mulai dari diri sendiri, dari hal terkecil, dan dari saat ini. (*)

 

rokok pilkada mahkota NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *