Perbaikan PDAM Tergantung Kualitas Rekrutmen dan Will-nya Kepala Daerah

oleh -108 Dilihat

 

Oleh : Heri Kurniawansyah HS (Dosen Fisipol UNSA)

OPINI, Samawarea.com (12/3/2020)

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di semua daerah merupakan institusi yang sangat vital, sebab salah satu pemenuhan kebutuhan paling mendasar warga masyarakat itu tugasnya berada di bawah institusi yang disebut PDAM. Kebutuhan akan air bersih merupakan kebutuhan pokok (primer) bagi masyarakat, sehingga tidak ada tawar menawar khususnya dalam pemenuhan kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Selain itu, secara institusi, keberadaan PDAM juga disebut sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menjadi bagian dari organisasi penghasil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), sebab institusi tersebut bersifat “monopoli” yang tidak memiliki saingan dalam hal fungsi, maka tidak ada alasan perusahaan tersebut menjadi “lembek” seperti saat ini yang sama sekali tidak memiliki output untuk daerah (PAD). Itu artinya tidak ada alasan institusi tersebut untuk tidak mendapatkan keuntungan bagi pemerintah sebagai pemilik perusahaan. Sehingga kinerjanya dituntut untuk bekerja secara prefosional, yang berarti keberadaannya menjadi sangat strategis sebagai institusi yang bertugas memenuhi kebutuhan paling mendasar warga masyarakat, sekaligus sebagai institusi strategis penghasil PAD sebagai salah satu sumber Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) itu sendiri.

Dengan demikian, jika dipandang dari substansinya, maka eksistensi PDAM menjadi setara keberadaannya dengan PLN sebagai institusi milik negara dibawah naungan Kementrian BUMN). Hanya saja perbedaannya terlatak pada level nasional dan daerah saja. Jika PLN adalah institusi milik negara yang bertugas menyediakan salah satu kebutuhan mendasar bagi publik, yaitu listrik, maka PDAM keberadaannya adalah sebagai institusi milik daerah yang juga fungsinya memenuhi kebutuhan mendasar bagi publik yaitu air. Dari sisi outcome, PLN merupakan institusi penghasil APBN, maka PDAM merupakan institusi penghasil APBD, itu normatifnya.

Selain itu, dalam tataran normatif, simbiosis mutulasime kebijakan sebenarnya berada pada institusi ini (PDAM), sehingga keberadaannya sangat strategis sebagai institusi penyokong pembangunan itu sendiri. Logikanya bagaimana ?, input pembangunan itu berada di anggaran, sementara salah satu institusi strategis yang memiliki potensi besar penambah APBD itu berada di PDAM, maka PDAM dituntut untuk bekerja lebih akseleratif dan profesional agar esensi kebijakan simbiosis mutualisme itu dapat tercapai, yang artinya bahwa masyarakat mendapat manfaat dari kinerja tersebut, dan pemerintah pun mendapat keuntungan dari kinerja tersebut.

Kritikan dan Isu PDAM (Pemetaan Masalah)

Karena PDAM merupakan salah satu institusi yang sangat vital di daerah, maka kinerja PDAM selalu menjadi isu yang sangat sentral sebagai public discourse yang hangat di kalangan publik, sehingga pada saat yang sama eksistensinya pun terus menuai kritikan dari masyarakat, utamanya dalam hal pelayanan dan transparansi. Pelayanan yang dimaksud dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

No Pelayanan           Kritik/Isu
1 Distribusi Air –          Distribusi Air bermasalah (macet)

–          Kondisi air yang tidak higienis (keruh)

–          Apa penyebabnya

–          Bagaimana solusinya

–          publik membayar secara rutin, namun pelayanan tidak sesuai dengan distribusi air yang diharapkan

2 Transaparansi –          Manajemen keuangan yang tidak rapi

–          Transparansi bermasalah

–          Nir- cadangan modal (cadangan wajib)

–          BOP – Pengeluaran rutin

–          Nir-PAD (pemasukan wajib)

–          Nir- pengawasan (standar utama yang wajib dilakukan)

Sumber :AnalisisPenulis

Mengapa kritikan itu begitu menguat, salah satu alasan yang bisa disimpulkan adalah ketidaksesuaian antara pengeluaran yang dikeluarkan oleh masyarakat dengan pelayanan yang mereka dapatkan dari PDAM. Kritikan tersebut memiliki metode yang beragam, mulai dari kritikan secara langsung bertatap muka, maupun dilontarkan secara masif melalui berbagai media, termasuk media sosial. Ironisnya, modernisasi yang didukung oleh input-input yang memadai pun belum mampu memberikan perubahan yang signifikan terhadap peningkatan pelayanan publik (Kurniawansyah, 2018). Lantas siapa yang yang memiliki tugas untuk memperbaikinya?, tentu jawabannya adalah direktur PDAM itu sendiri sebagai pucuk pimpinan tertinggi di institusinya, yang dituntut untuk lebih progresif menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengatasi berbagai persoalan di PDAM.

Memastikan Open Recruitment yang Mengedepankan Sistem Merit

Namun sebelum masuk pada determinasi keberadaan pucuk pimpinan di institusi tersebut, maka indikator yang paling mendasar untuk memperbaiki kinerja dan manajerial PDAM itu berada pada prosesi rekrutmen pimpinan itu sendiri. Saat ini sedang berlangsung proses open recruitment pimpinan PDAM, maka para calon yang ikut seleksi tersebut paling tidak harus mampu menjawab berbagai persoalan yang paling urgen di PDAM saat ini. Apa artinya sebuah perusahaan, jika pemasukan dan pengeluaran sama, sehingga tidak ada sisa kas sebagai pendapatan, kelebihnya hanya berada di pelayanan distribusi air, itupun memiliki masalah yang sangat masif, lantas dimanakah bagusnya PDAM itu jika saat ini tidak diperbaiki dengan komitmen (will) yang baik dari Pemda.

Indikator kapabilitas para calon itu tergantung formulasi dan kredibilitas para panitia seleksi (pansel) dan Bupati sebagai aktor pemegang hak prerogatif. Jika prinsip rekrutmen mengedepankan pendekatan politis dan nepotisme, maka prosesi rekrutmen itu menjadi tidak berguna. Proses tersebut hanya menjadi bentuk kinerja Pemerintah Daerah yang bersifat pencitraan semata, sebab pemerintah hanya mengedepankan kesan-kesan inovatif kepada publik namun nihil substansi. Artinya bahwa tata kelola PDAM yang sangat bermasalah selama ini harus dituntaskan dengan pola kerja governance, yang salah satunya terletak pada prinsip merit nsistem itu sendiri. Apa itu merit sistem?, yaitu prinsip yang mengedepankan SDM sesuai dengan kapasitasnya, bukan karena nepotisme atau pendekatan politis.

Masa depan PDAM saat ini ada pada prosesi open recruitment yang hak penuhnya ada di timsel, yang selanjutnya dieksekusi oleh Bupati sebagai kepala daerah. Maka kegagalan timsel dan Bupati menentukan orang kredibel dan memiliki kapasitas yang mumpuni, itu sama artinya dengan pansel dan kepala daerah telah menanamkan kegagalan pada PDAM itu sendiri. Saat ini timsel telah bekerja untuk menentukan para calon yang masuk tiga besar untuk dipertimbangkan dan diputuskan oleh Bupati, maka buruknya kinerja PDAM juga akan menjadi tanggung jawab Bupati secara normatif. Jika Bupati memiliki will yang baik dalam memperbaiki PDAM, maka bupati harus mengedepankan prinsip sistem merit dalam perekrutan pimpinan PDAM, pun sebaliknya. Artinya, inilah momen terbaik seorang Kepala Daerah untuk meninggalkan salah satu legacy terbaik dalam memperbaiki PDAM. (*)