Kasus BPR Sumbawa Dibuka Kembali, Umaiyah: Itu Tidak Sah !

oleh -108 Dilihat
Dr. Umaiyah SH MH

SUMBAWA BESAR, SR (29/10/2017)

Polres Sumbawa membuka kembali kasus dugaan tindak pidana perbankan yang menjerat Direktur BPR Sumbawa, Ikhwan SE. Padahal kasus ini sudah ‘dianulir’ Pengadilan Negeri Sumbawa menyusul adanya putusan Praperadilan beberapa waktu yang lalu. Dalam putusan itu Pengadilan Negeri Sumbawa menyatakan Polres Sumbawa tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus perbankan sekaligus menyatakan penetapan status tersangka, terhadap Ikhwan SE tidak sah.

Kepala Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Sumbawa, AKP Elyas Ericson SH SIK yang dikonfirmasi belum lama ini, mengakui kembali menangani kasus tersebut. Penanganan kasus ini diulang dari awal menyusul terbitnya surat perintah penyidikan (Sprindik) baru. Menurut Ericson—sapaan perwira ini, kasus ini bisa dibuka kembali karena mengacu pada putusan Praperadilan, bahwa kewenangan penyidik kepolisian dalam menangani kasus itu tidak hilang dan bisa kembali menetapkan tersangka. Selain itu adanya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dengan Polri tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. “Acuannya ada, makanya kami kembali menangani kasus ini,” tegas Ericson.

Dalam prosesnya, pihaknya masih mengumpulkan sejumlah alat bukti. Semua saksi yang telah dimintai keterangan sebelum Praperadilan, dipanggil dan diperiksa kembali, termasuk saksi pelapor. “Sejauh ini baru dua saksi yang kami panggil untuk dimintai keterangan,” ungkap Ericson.

Menanggapi hal itu, Dr. Umaiyah SH MH selaku Kuasa Hukum Direktur BPR Sumbawa, menilai tindakan polisi menyegarkan kembali kasus itu adalah tindakan yang tidak benar dan sangat keliru. Ada istilah hukum yakni “nebis en idem” yang tidak membenarkan mengulang perkara yang sama. “Jangankan saksinya sama, buktinya sama saja tidak boleh,” tukas Umaiyah.

Baca Juga  Kebakaran di Sape, Ibu dan Anak Tewas Terpanggang

Dalam penanganan baru tapi sama ini, polisi sebut Umaiyah, menggunakan pasal yang sama yakni pasal 49 ayat (1) huruf b UU RI No. 7 Tahun 1992 terkait dugaan tindak pidana perbankan. Hanya ditambah pasal penggelapan. Ini sangat lucu dan menggelikan, karena yang harus dipertanyakan, siapa yang menggelapkan dan apa yang digelapkan, sementara uang cash back pembelian mobil yang dijadikan obyek perkara itu ada dan tidak digunakan. Pengertian penggelapan ini adalah penitipan barang secara baik-baik lalu kemudian tanpa sepengetahuan pemiliknya dialihkan. “Barang itu ada terang benderang bukan gelap,” imbuhnya.

Jika dikenakan pasal penggelapan dalam jabatan, harus diperjelas apakah cash back itu masuk dalam kegiatan bank atau tidak. Jika tidak apakah masih relevan menggunakan pasal tindak pidana perbankan ? tanyanya. Jikapun bisa, Polres Sumbawa pun tidak berwenang menanganinya lagi karena yang berhak menangani adalah penyidik kepolisian yang ditempatkan atau dipekerjakan di OJK.

Bagaimana dengan SKB Polri dan OJK yang bisa dijadikan acuan dalam menyidik kasus perbankan itu ? dijelaskan Umaiyah bahwa SKB tersebut bersifat koordinasi dalam rangka saling membantu, dan tidak serta merta polisi bisa menangani kasus perbankan dimaksud. SKB atau Nota Kesepahaman itu merupakan amanat dari undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, yang mengamanatkan kepada OJK untuk melaksanakan fungsi penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindak pidana di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dan dana pensiun. Dalam poin SKB itu sangat jelas, di antaranya penempatan personil penyidik Polri di OJK untuk melaksanakan tugas penyidikan. Anggota yang ditempatkan untuk melaksanakan fungsi penyidikan di OJK baik kompetensi mengenai sektor jasa keuangan maupun keahlian tekhnis penyidikan, harus mendapat pendidikan dan pelatihan melalui kegiatan peningkatan khusus dan kompetensi sumberdaya manusia. “Tidak ada dalam SKB itu yang mencabut pasal yang mengharuskan penyidik Polri yang menangani kasus perbankan adalah penyidik yang ditempatkan dan dipekerjakan di OJK,” tegasnya.

Baca Juga  Si Jago Merah Mengamuk, IRT Nyaris Tewas Terpanggang

SKB ini berada di bawah UU dan harus mengacu pada UU yang ada. Tidak boleh membuat peraturan di bawah UU yang melanggar aturan UU. “Ini bicara kewenangan. Jika bicara kewenangan, Polri tidak berhak atau tidak berwenang menangani kasus perbankan. Kecuali penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK. Ini penegasan UU. Jadi tidak ada UU OJK yang mengatakan Polri yang berhak. Lalu dengan adanya SKB, tiba-tiba dibolehkan, itu keliru. Sekali lagi saya katakan SKB hanya bersifat koordinatif. Jadi saya berharap penyidik Polres Sumbawa baca lagi SKB dan pelajari lagi UU OJK,” segahnya.

Masalah Direktur BPR Sumbawa ini ungkap Umaiyah, berbeda dengan persoalan hukum Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov). Untuk kasus Setnov, Pengadilan memutuskan kasusnya boleh dilanjutkan karena yang dipermasalahkan menyangkut Sprindik. Sebelumnya dalam gugatan Setnov, bahwa dia ditetapkan sebagai tersangka sebelum dilakukan proses penyidikan. Karena itu Praperadilan dimenangkan Setnov tapi kasusnya boleh diulang lagi. Sedangkan untuk kasus Direktur BPR Sumbawa menyangkut kewenangan. Ketika pengadilan menyatakan penyidik Polres Sumbawa tidak berwenang, penanganannya langsung dihentikan, dan tidak bisa diulang seperti sekarang ini. “Perkara ini sudah selesai, kami harap penyidik Polres Sumbawa tidak memaksakan kehendak,” pungkasnya. (JEN/SR)

pilkada mahkota rokok NU
Azzam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *