Kisah Anak Indonesia Dipentaskan di Australia

oleh -131 Dilihat

MELBOURNE, SR (19/03/2017)

Sekitar 60 remaja asal Indonesia ditahan di penjara dewasa dan rumah tahanan imigrasi Australia 2011 lalu. Mereka menjalani peradilan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum di Negara itu. Kisah ini menginspirasi seorang penulis asal Australia, Sandra Thibodeaux untuk menulis cerita teater. Akhirnya, sebuah cerita yang diinspirasi dari kisah itu dipentaskan di Melbourne Australia. Pementasan teater ini dilakukan bekerjasama dengan kelompok teater Sumatera Teater Satu.

Pementasan ini berawal dari penelitian yang dilakukan oleh sebuah rumah produksi di Australia. Rumah produksi itu meneliti hubungan Australia dengan Indonesia serta perdebatan mengenai pengungsi yang datang secara ilegal. Pementasan ini berjudul The Age of Bones. Pentas teater bergenre komedi yang menyindir politik Australia itu berbeda dengan kisah puluhan remaja itu.

Teater Australia 2teater australia 3

Kisah ini terinspirasi oleh kisah kehidupan nyata dari sekitar 60 remaja Indonesia.Mereka ditahan selama beberapa tahun karena diduga berperan sebagai penyelundup manusia pada 2011 lalu. Para remaja ini ditipu dengan dalih untuk bekerja di kapal ikan dengan bayaran yang besar. Namun, dalam perjalanannya mereka dicegat oleh Angkatan Laut Australia.

Polisi Federal Australia berusaha untuk membuktikan para remaja itu adalah orang dewasa. Bahkan, polisi menggunakan metode usang untuk memanipulasi usia mereka. Yakni menggunakan sinar x-raypada pergelangan tangan untuk menentukan usia mereka. Hal inilah yang menginspirasi judul pementasan drama itu.

Baca Juga  Percepat Pemulihan Pasca Gempa, Gubernur NTB Rapat di Mushollah

Thibodeaux lalu tergerak untuk menulisdrama mengenai kejadian itu. Pada saat itu, Australia sangat marah terkait eksporternak hidup mereka ke Indonesia,dibandingkan pelanggaran hak asasi manusia oleh orang Australia sendiri. “Kami bahkan tidak tahu tentang cerita ini, karena kejadiannya hampir bersamaan dengan perdebatan tentang hewan ternak. Dan kita tampaknya lebih peduli tentang ternak kami dari pada anak-anak Indonesia,” katanya.

‘’Tapi, setelah pengacara mendengar tentang hal itu, kasus mereka mulai berkembang.Metode x-ray ini mulai dilakukan pada tahun1930-an. Ini memalukan bagi Australia. Ini menunjukkan kemalasan dan keras kepala,”imbuhnya.

Persoalan tentang penanganan para remaja Indonesia itu akhirnya mendatangi Australia bulan lalu. Pemerintah Indonesia menyatakan menggugat Pemerintah Australia sebesar $ 103 juta (AUD, red) sebagai bentuk kompensasi atas penahanan para remaja itu yang dinilai tidak sesuai ketentuan.

Dalam pementasan ini, Thibodeaux mengatakan bahwa ceritanya tidak berdasarkan cerita orang tertentu. Tetapi merupakan karakter fiksi yang diciptakan setelah dia melacak sejumlah keluarga para remaja itu di Pulau Rote, Nusa Tengara Timur. Kemudian Thibodeaux kembali ke Australia untuk menulis drama tersebut. ‘’Saya ingin merasakan hidup mereka, dan bagaimana anak-anak ini berakhir di kapal ini. Aku tersadar betapa mereka dilanda kemiskinan,” tutur Thibodeaux.

‘’Tidak ada air yang mengalir, atau listrik, dan mereka mencoba untuk hidup dari tanah. Saya menemukan tidak menemukan kekurangan dari para remaja yang ingin mengambil pekerjaan (bekerja sebagai awak kapal ikan, red),” katanya.

Baca Juga  Anggota DPRD Desak Pemprov Tangani Kerusakan Hutan Sumbawa

Adapun cerita yang ditulis Thibodeaux adalah sebuah alegori laut tentang seorang anak Indonesia berumur 15 tahun yang bernama Ikan. Dalam hal ini Ikan pergi memancing dan tidak pernah kembali. Orangtuanya yang sakit dengan khawatir, menyewa pelaut legendaris untuk menemukan Ikan. Sementara sepanjang waktu Ikan mendekam di penjara. Ikan selalu merasa ketakutan karena ditempatkan dalam penjara dengan para laki-laki dewasa yang seperti hiu dan penuh kekerasan.

Teater Australia 4Drama ini dimainkan dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Serta menggunakan wayang kulit tradisional untuk menambahkan dimensi mistis dalam cerita. Pementasan ini dilakukan di Pulau Jawa pada Oktober lalu sebelum dimainkan ke Australia. Pembukaannya di laksanakan di Melbourne bulan lalu sebagai bagian dari festival seni Asia atau TOPA.

Minggu ini, pementasan dilakukan di ibukota Australia, Canberra. Nantinyapenonton memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan setelah acara diskusi panel. Meski inti ceritanya adalah kisah yang sedih, Thibodeaux mengatakan pementasannya dibingkai seperti cerita komedi. Penonton juga menanggapi pementasan itu sebagai humor, yang memecah ketegangan di sekitar situasi politik yang gelap. ‘’Tadi malam di Canberra, penonton tidak tertawa terlalu banyak. Telah ada peningkatan suhu politik yang tinggi dan timbulnya kepedulian,” ujar Thibodeaux.

‘’Penonton Australia melihat pementasan ini dari sudut pandang Indonesia. Dan bagaimana peristiwa ini berdampak pada rakyat Indonesia.”

Thibodeaux mengatakan, warga Australia memberikan merespon yang hangat untuk para pemain. Dibuktikan dengan datangnya warga dan band Australia mengunjungi aktor Indonesia yang mengunjungi benua selatan itu untuk pertama kalinya. (SR)

pilkada mahkota rokok NU
Azzam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *