Saatnya Hak Masyarakat Adat Diakui dan Dilindungi

oleh -95 Dilihat

Sumbawa Besar, SR (20/09/2015)

Lokakarya tentang Peraturan Daerah (Perda) tentang Masyarakat Adat (Perda MA) di Kabupaten Sumbawa yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menghadirkan para pakar hukum dan adat. Mereka adalah Rektor Institut Ilmu Sosial, Seni dan Budaya (IISBUD) Sumbawa, Ahmad Yamin SH MH, Dr Salim dari Universitas Mataram (UNRAM), Supratman dari Universitas Samawa (UNSA) dan Eras Nurcahyadi–Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Para pakar di bidangnya ini akan memberikan pandangan dan analisanya dalam mendorong lahirnya perda tersebut.

Dr Salim dari UNRAM dalam paparannya mengaku kerap mengunjungi Desa Lebangkar, Kecamatan Ropang, yang di dalamnya menetap satu komunitas adat “Cek Bocek” yang tengah berkonflik dengan perusahaan tambang PTNNT. Komunitas ini protes karena perusahaan asal Amerika ini menguasai Dodo yang diklaim sebagai hak ulayatnya. Pada Tahun 2005, Dr Salim dan rekan-rekannya berhasil menyelesaikan konflik tersebut. Saat itu mereka meneliti tentang kedudukan hukum kawasan hutan yang digunakan di wilayah kontrak kerja PTNNT. Dari hasil riset itu, 32 persen masyarakat berpendapat bahwa tanah setempat adalah tanah masyarakat adat, meski pemerintah menyatakan tanah itu kawasan milik negara. Ini berkaitan dengan objeknya. Di satu sisi ada kawasan hutan, di sisi lain ada masyarakat di wilayah hutan dan wilayah konsesi. Di bagian lain didengungkan hanya ada satu masyarakat adat yaitu LATS. Selain itu pandangan Pemda bahwa tidak ada tanah ulayat di Tana Sumbawa. Hasil penelitiannya pada Tahun 2013, dari 100 responden ternyata Adat Cek Bocek sangat terkenal. Ada 69 yang mengenal, sedangkan Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) hanya 17 orang.

Agar kedudukan secara hukum menjadi kuat, harus ada Perda terkait perlindungan masyarakat adat. Meski demikian banyak yang tidak setuju pembuatan Perda masyarakat adat. Namun hal ini tidak akan menjadi alasan tidak bisa dibuatkan Perda, asalkan ada kemauan baik dan inisiatif dari Pemda dan DPRD Sumbawa.

Supratman dari UNSA mengatakan masyarakat adat sudah diakui sejak lama, sekarang bagaimana melahirkan Perda yang mengakui masyarakat adat tersebut. Dalam konsep teoritis, ada dua yang harus dilihat yakni kearifan lokal yang bersifat nyata. Keberadaan masyarakat adat menjadi kuat jika di wilayah setempat ada bukti sejarah, alur sejarah dan pemakaman. Kemudian kearifan lokal yang tak nyata seperti nyanyian atau kidung yang mengandung nilai aturan tradisional. “Kita sering dengar ada lawas, sakeco, ratib, rebana, dan lainnya termasuk petuah secara verbal. Sebenarnya itu potensi kearifan lokal yang harus kita kembangkan dan jaga sampai kapanpun,” kata putra Batu Rotok ini.

Baca Juga  Dituduh Dukun Santet, Rumah Dirusak, Penghuninya Nyaris Diamuk Massa

Ia meyakini di Lebangkar Kecamatan Ropang, pasti ada yang seperti itu dan hal inilah yang akan memperkuat lahirnya peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat. Supratman mengemukakan hasil penelitiannya di Lebangkar hidup 1.430 jiwa dan tergolong kaya dari akses air bersih hanya 22 KK, menengah 152 KK, selebihnya miskin. Ini menjadi PR bagi semua pihak terkait bagaimana potensi sumber daya alam di sana dapat digali untuk kesejahteraan masyarakat.

Rektor IISBUD, Ahmad Yakin SH MH, menjelaskan dalam undang-undang mengatur terlalu banyak istilah masyarakat adat yaitu masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, komunitas terpencil, masyarakat desa dan lainnya. Jika melihat dari segi konstitusi, negara mengakui dan melindungi masyarakat adat. Di dalam TAP MPR disebutkan, mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam. Jadi negara mengakui semuanya. Dan pengakuan terhadap masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya harus diikuti dengan pemberian eksklusif atau hak-hak istimewa oleh pemerintah. “Inilah tujuan mengapa kita ingin menelorkan Perda itu agar diberikan hak istimewa terhadap sumber daya, tanah dan wilayah yang ada di wilayah perairan tertentu yang memang dikuasai oleh masyarakat adat,” jelas Young—sapaan akrab akademisi low profil ini.

Disebutkannya, ada empat sifat umum masyarakat adat yaitu religius (magis), komunal (bersama-sama), konkrit (serba jelas), hubungan hukum di dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam, dan terus terang. Ciri-cirinya adalah memiliki kesatuan manusia yang teratur, menetap di satu daerah, memiliki penguasa dan kekayaan, memiliki nilai dan sistem hidup tersendiri. Ketika persyaratan ini terpenuhi, inilah yang diakui oleh undang-undang. “Jika tidak ada, kita buat,” cetus Young.

Baca Juga  Perkuat Soliditas dan Sinergitas, Kapolda NTB Sambangi TNI dan Brimob di Sumbawa

Inilah yang harus diminta kepada pemerintah agar dibuat aturan hukumnya dalam mengakomodir nasib sekelompok masyarakat yang berada di komunitas adatnya. Jika di wilayah kabupaten, berarti harus dibuat peraturan daerah. Ketika lahir Perda berarti memiliki dasar hukum untuk mengelola sumberdaya secara hukum komunal menurut hukum adat setempat.

Narasumber berikutnya adalah Eras Nurcahyadi–Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjelaskan mengenai masyarakat tradisional dan masyarakat hukum adat. Dalam UU 1945, tidak ada penjelasan rincinya. Tapi pada dasarnya, kata kuncinya adalah pengakuan, penghormatan dan perlindungan masyarakat adat dalam konstitusi. Kata kunci kedua adalah hak tradisional. Dan kata kunci ketiga adalah hak asal-usul atau hak tradisional. Menurutnya, hak tradisional tidak bisa diperlawankan dengan terminologi modern. Tradisional itu bukan untuk menggambarkan masyarakat terbelakang melainkan hak turun temurun.

Substansi dan pendekatan konstitusi dalam memandang masyarakat adat adalah UUD 1945 karena di dalamnya ada bab tentang Pemerintah Daerah. Mengapa demikian, karena seharusnya desa itu adalah pemerintahan aslinya adalah masyarakat hukum adat. Selain itu ada juga Bab yang mengatur tentang HAM. Tujuannya, agar negara mengakui, menghormati dan melindungi masyarakat adat yang sudah diatur.

Di dalam undang undang HAM, masyarakat adat diistilahkan masyaratkat tradisional. “UU HAM itu lahir sebelum amandemen UUD 1945. Pengaturan masyarakat adat ada terlebih dahulu dalam Undang Undang HAM. Kemudian konstitusi Indonesia mengambil dari UU HAM itu untuk masuk ke dalam konstitusi,” paparnya.

Kemudian dalam undang-undang pemerintah daerah, ada diatur masyarakat hukum adat. Karenanya pemerintah daerah harus melakukan pengakuan-pengakuan, dengan cara membuat Perda. Perda diperlukan ungkap Eras, karena adanya negaraisasi wilayah-wilayah adat. Seolah-olah semua milik negara. Kemudian ada juga diskriminisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat, dan ada perintah undang undang (UU PPLH, UU Desa, dan Permendagri). Dia juga menyebutkan tiga rute kebijakan pengakuan masyarakat adat di tingkat daerah adalah pengakuan terhadap wilayah adatnya, pengakuan masyarakat adatnya, dan pengakuan masyarakat adat sebagai unit pemerintahan tersendiri. Tiga rute ini dapat diadopsi dalam menyusun Perda Masyarakat Adat. (Jen/SR)

pilkada mahkota mahkota rokok NU
Azzam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *