Ust. Sambirang Ahmadi S.Ag M.Si, Khutbah di Sholat Ied
Sumbawa Besar, SR (18/07/2015)
Sholat idul Fitri di Lapangan Pahlawan Sumbawa berlangsung khidmat. Ribuan umat muslim dari segala penjuru mengikutinya dengan khusyuk. Membludaknya para jamaah sholat ied hingga meluber ke badan jalan ini lebih ramai dibandingkan lebaran beberapa tahun yang lalu. Sebab pada Idul Fitri 1436 H ini dirayakan oleh jamaah Muhammadiyah dan NU secara bersamaan. Semangat para jamaah juga lebih meningkat dari tahun sebelumnya, ini karena khatib sholat Ied, Sambirang Ahmadi S.Ag M.Si yang menyampaikan khutbah dengan cara yang meledak-ledak. Kepala SDIT Samawa Cendekia tersebut membawakan khutbah berjudul “Dengan Suasana Fitri Kita Perbaharui Semangat Pembangunan untuk Sumbawa yang Lebih Baik”.
Dalam paparannya, Ustadz Sambirang—demikian mantan Ketua DPD PKS Sumbawa ini disapa, mengupas soal semangat pasca ramadhan. Menurutnya ibadah Ramadhan yang telah berlalu seharusnya terjadi pembaruan dalam jiwa dan semangat pembangunan. Dan momentum Idul Fitri ini harus dipahami dan dihayati sebagai peluang untuk penyegaran pikiran, pembaruan mental dan titik pangkal tumbuhnya semangat baru dalam pembangunan, sebagai modal berharga untuk mewujudkan kehidupan masyarakat dan bangsa yang bersih dari segala tindakan tercela, dekadensi moral, dan cacat sosial, yang dapat meruntuhkan wibawa bangsa.

Sesuai dengan nama bulan ini yakni syawwal yang artinya peningkatan, ada enam bentuk semangat yang harus diperbarui agar masyarakat mengalami peningkatan dalam hal kepercayaan satu sama lain, dan daerah mengalami peningkatan dalam hal kualitas pelayanan pembangunan.
Pertama, semangat pengabdian. “Pada dasarnya keberadaan kita dalam hidup ini adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT dalam arti yang luas. Karenanya, semangat pengabdian harus selalu menggelora dalam kehidupan kita,” ucapnya. Masyarakat dan bangsa sekarang ini membutuhkan pemimpin dan rakyat yang memiliki semangat pengabdian untuk memperbaiki keadaan. Manakala semangat pengabdian ini menjadi tekad dalam membangun, sepatutnya bertanya dalam hati, apa yang bisa diberikan kepada daerah, bukan apa yang bisa didapatkan dari daerah. Orang yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi selalu berusaha agar keberadaannya bisa memberi konstribusi dan manfaat kebaikan yang sebesar-besarnya. Ia pun merasa sangat rugi bila keberadaan dirinya tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Dalam hadits Rasulullah SAW menunjukkan bahwa ukuran kehebatan seseorang dilihat dari seberapa banyak manfaatnya bagi orang lain. Dalam proses memperbaiki bangsa, hilangnya semangat pengabdian merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Bila yang demikian itu terjadi pada diri seseorang, maka ia akan berkembang menjadi ananiyah (sikap egois atau mementingkan diri sendiri). Ia tidak peduli apakah ia bersalah atau tidak, apakah ia mampu atau tidak. Baginya segala ambisi harus bisa dicapai meskipun harus dengan menghalalkan segala cara. Sedangkan bila hal itu terjadi pada kelompok, hal itu akan menimbulkan ashabiyah atau fanatisme kelompok secara berlebihan. Kedua sikap tersebut, egoisme dan fanatisme kelompok secara berlebihan seringkali kontraproduktif dengan jiwa dan semangat pembangunan.
Semangat kedua yang mestinya mengalami pembaruan adalah semangat pelayanan. Setiap orang, apalagi seorang pemimpin, seharusnya bisa melayani orang lain dengan sebaik-baiknya. Ini merupakan kelanjutan dari semangat pengabdian. Karena itu, dalam sejarah kepemimpinan Islam, didapati banyak pemimpin yang memberikan pelayanan kepada rakyatnya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Satu di antaranya adalah Khalifah Umar Bin Khattab R.a. yang pada malam hari seringkali mengunjungi rakyatnya dari rumah ke rumah.
Sekarang, semangat untuk saling melayani itu mulai terkikis, bahkan nyaris hilang dari masyarakat. Lebih tragis lagi bila hal itu terjadi pada kalangan pemimpin yang seharusnya memang melayani orang-orang yang dipimpinnya. “Ibadah ramadhan telah mendidik kita untuk memiliki semangat melayani, yang disimbolkan dalam bentuk pengorbanan seperti memberi makan dan minum kepada orang yang berbuka puasa, hingga menunaikan zakat fitrah,” katanya memberi contoh.
Semangat ketiga adalah semangat pembelaan. Ibadah ramadhan telah mendidik untuk menjadi orang yang memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Karenanya, setiap orang seharusnya siap membela dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ketika Rasulullah SAW berhijrah dengan para shabatnya ke Madinah, kaum muslimin yang berada di Madinah menunjukkan solidaritas yang luar biasa. Mereka memberikan pertolongan dengan siap mengorbankan apa saja yang mereka miliki. Karenanya, mereka disebut dengan kaum Anshar (orang yang memberikan pertolongan). Mereka menunjukan semangat persaudaraan yang paling tinggi yang disebut dengan itsar atau sikap mengutamakan orang lain.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A. menjadi khalifah, pernah terjadi krisis ekonomi yang sangat berat yang membuat rakyat tidak memiliki bahan makanan. Ketika rakyat datang ke rumah Abu Bakar, ternyata sejak kemarin khalifah ini tidak memiliki bahan makanan. Abu Bakar hanya bisa memperlihatkan air matanya. Dalam situasi seperti itu tampil Utsman Bin Affan R.A membeli bahan makanan dalam jumlah yang sangat banyak untuk dibagikan kepada masyarakat yang lapar, dan dalam waktu singkat krisis ekonomi itupun dapat teratasi. Sikap sahabat Utsman tersebut mestinya menjadi teladan untuk saling membela dan saling mendukung dalam pembangunan, bukan malah saling menjatuhkan satu sama lain. Tidak adanya semangat pembelaan dan berkembangnya semangat mementingkan diri sendiri menjadi salah satu faktor yang membuat krisis ekonomi, dan juga krisis lainnya seperti krisis politik di negeri ini sehingga tidak cepat teratasi.
Kemudian semangat keempat yang mestinya mengalami pembaruan adalah semangat pemberdayaan. Umat Islam sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar tapi belum menghasilkan kekuatan yang berarti. Umat ini dirasakan masih menjadi seperti buih di lautan yang sangat bergantung pada kemana arah ombak. Umat ini belum berdaya bukan hanya secara ekonomi tapi juga secara aqidah dan ideologi. Ketidakberdayaan aqidah dan ideologi ini menyebabkan masyarakat terutama generasi muda, sangat rentan dipengaruhi oleh faham dan ideologi yang datang dari barat. Terkesan setiap sesuatu yang datang dari barat pasti benar atau lebih baik. Salah satu faham dan nilai yang paling mengancam saat ini adalah berkembangnya pengakuan atas bolehnya pernikahan kaum sesama jenis. Atas nama hak azasi manusia, orang-orang di barat melegalkan perilaku yang dikenal dengan istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Penyebaran faham ini begitu gencar melalui internet dan media sosial, seperti facebook dan twitter. Sebagai mukmin, harus mewaspadai sedini mungkin, jangan sampai faham yang bertentangan dengan fitrah kejadian manusia ini menjadi wabah yang menjangkiti perilaku generasi saat ini. Karenanya semangat baru Idul Fitri ini mestinya memacu untuk meningkatkan keberdayaan dan ketahanan aqidah. Bila aqidah berdaya, maka ikatan kepada Allah akan semakin kuat. Pemikiran juga harus berdaya sehingga tidak mudah diombang-ambing oleh pemikiran yang tidak sesuai dengan Islam, dan amaliah juga harus berdaya sehingga segala aktivitas yang dilakukan tetap berorientasi kepada kebaikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Semangat kelima adalah semangat pembinaan. Ibadah ramadhan yang telah ditunaikan dengan segala aktivitas pendukungnya membuat umat ini merasa memperoleh pembinaan. Karena itu pembinaan umat tidak boleh berhenti seiring dengan berakhirnya ramadhan, tetapi justru harus dilanjutkan dan semakin ditingkatkan. Lemahnya semangat pembinaan menjadi salah satu sebab ketidakberdayaan umat Islam. Karenanya pembinaan aqidah dan mental pembangunan perlu dilakukan secara intensif dan terus-menerus. Untuk itu, pusat-pusat pendidikan dan pusat-pusat peribadatan seperti sekolah, pesantren dan masjid harus bisa dijadikan sebagai basis pembentukan dan pembinaan umat. Asosiasi-asosiasi pendidik, para dai dan alim ulama, para pemimpin masyarakat, serta para pengurus dan jamaah masjid harus bahu-membahu dan bekerjasama dengan baik dalam memperkuat ketahanan aqidah dan perbaikan akhlak masyarakat, sebagaimana yang sudah dilakukan selama bulan ramadhan. Semangat membina diri, membina keluarga, dan membina masyarakat ke arah kokohnya ketakwaan kepada Allah merupakan sesuatu yang sangat fundamental.
Semangat keenam adalah semangat perjuangan. Ibadah ramadhan telah mendidik dan melatih untuk menjadi pejuang-pejuang Islam sejati. Perjuangan melawan hawa nafsu termasuk perjuangan yang paling berat. Semua kerusakan sosial umumnya berangkat dari ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu. Perjuangan berat berikutnya adalah perjuangan untuk mensejahterahkan masyarakat. “Kita mesti terlibat secara aktif dalam perjuangan ini sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. dan perjuangan ini membutuhkan kebersamaan, kekompakan, dan kesolidan. Dan kita mesti sadar bahwa tidak ada kerja besar yang bisa dilakukan seorang diri, kita membutuhkan koalisi semua pihak untuk Sumbawa yang lebih baik, suatu koalisi yang membuat Allah SWT menjadi cinta kepada kita,” cetusnya.
Berakhirnya bulan suci ramadhan bukan berarti berarkhir pula semangat keislaman melainkan harus menjadi titik tolak untuk melakukan perbaikan diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Dalam rangka perbaikan ini diperlukan kelapangan dada untuk menerima kebenaran, dan keleluasan hati untuk memperkuat kebersamaan melalui silaturrahim yang intens, bukan hanya secara fisik tapi juga pemikiran, konsep, dan gagasan untuk Sumbawa yang lebih baik dan sejahtera. “Semoga dengan semangat Idul Fitri ini, kita semua bisa berpartisipasi dan berkontribusi untuk kemajuan tau dan tana Samawa,” tutupnya. (Jen/SR)