Sumbawa Besar, SR (11/04)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nusa Tenggara Barat (NTB) akan merespon surat KPU pusat yang menanggapi protes Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumbawa, terkait dengan hasil seleksi KPU Sumbawa yang dinilai menyimpang dari aturan.
Anggota KPU Provinsi NTB, Suhardi Soud SE kemarin, mengakui telah menerima surat dari KPU pusat terkait dengan permasalahan tersebut, dan akan segera meresponnya untuk memberikan penjelasan. “Sebelum menanggapi surat KPU pusat kami akan bicarakan dulu di internal KPU NTB,” kata Suhardi—akrab mantan Ketua KPU Sumbawa ini disapa.
Namun surat KPU pusat ini kata Suhardi, akan ditanggapi setelah tuntasnya proses rekapitulasi penghitungan suara.
Seperti diberitakan, pengaduan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumbawa (GMNI) terkait dugaan penyimpangan aturan proses pelaksanaan seleksi calon anggota KPU Kabupaten Sumbawa, direspon KPU pusat.
Dalam Surat KPU No. 198/KPU/III/2014, tertanggal 27 Maret 2014, meminta dengan segera agar KPU Propinsi NTB menyampaikan penjelasan atas pelaksanaan seleksi KPU Kabupaten Sumbawa.
Dugaan penyimpangan tersebut terkait prosedur pelaksanaan seleksi, yaitu pelaksanaan tes kesehatan rohani yang dilaksanakan setelah penetapan 10 besar dan adanya salah seorang komisioner terpilih yang dinilai cacat integritas.
Menurut Ketua GMNI Cabang Sumbawa, Jayadi, bahwa pengaduannya bukan saja disampaikan kepada KPU di Jakarta tetapi juga dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Komisi Ombudsman NTB.
“Kami sudah melakukan investigasi dan menemukan banyak data yang mengindikasikan kecurangan dalam rekruitmen KPU Sumbawa. Masalah ini sudah kami laporkan,” kata Jayadi.
Menurut Jayadi, proses rekruitmen komisioner KPU Sumbawa telah mengabaikan ketentuan UU No. 15 Tahun 2011, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 2 Tahun 2012, PKPU No. 31 Tahun 2008 dan UU No. 14 Tahun 2008 serta tata kerja dan kode etik tim seleksi. Akibatnya, Timsel dan KPU NTB tidak mendapatkan data calon yang memenuhi kriteria substantif yang dibutuhkan sebagai penyelenggara pemilu.
Indikasi kecurangan dalam rekruitmen calon anggota KPU Sumbawa, menurut Jayadi, karena prosedur yang tidak jelas atau rancu, di samping persoalan integritas penyelenggara seleksi, dan akuntabilitas kegiatan.
Dari segi prosedur sebut Jayadi, ada tahapan seleksi yang mestinya dilakukan Timsel malah dilakukan oleh KPU Propinsi, yaitu Test Kesehatan Rohani yang melibatkan semua calon lulus seleksi administrasi sebanyak 35 orang. Tetapi KPU Propinsi melaksanakannya setelah penetapan sepuluh nama (10 besar) oleh Timsel.
Padahal berdasarkan ketentuan UU No. 15 Tahun 2011 dan PKPU No. 2 Tahun 2012, Tes Kesehatan Rohani itu merupakan rangkaian seleksi tahap kedua yang dilakukan sebelum seleksi wawancara penetapan 10 besar.
Prosedur ini semakin tidak jelas karena KPU NTB menganulir 10 besar yang ditetapkan Timsel dan tidak menetapkan 10 besar baru, sehingga semua peserta seleksi kesehatan rohani dikutsertakan dalam Uji Kelayakan. “Sekali lagi UU hanya membolehkan 10 nama berkualitas yang berhak mengikuti uji kelayakan. Aturan dari mana KPU propinsi melaksanakan uji kelayakan seperti ini?” tanyanya.
Jayadi juga menyampaikan bahwa 2 anggota KPU Sumbawa diduga kuat terpilih karena hubungan emosional sesama organisasi, hubungan keluarga dan factor kedekatan personal dengan oknum Komisioner KPU NTB.
Jika mengacu pada data nilai yang dikeluarkan Timsel, dua nama yang ditetapkan sebagai komisioner KPU Sumbawa, menempati peringkat paling rendah dari sepuluh nama yang diajukan Timsel ke KPU NTB sebelumnya, yaitu masing-masing berada pada peringkat ke-8 dan 10. “Tapi karena subyektifitas dari komisioner KPU Propinsi akhirnya terpilih meskipun dengan praktek mal administrasi berupa manipulasi nilai. Terlihat kental nuansa koncoisme dan nepotisme dalam seleksi ini,” tudingnya seraya enggan menyebut dua nama itu. (*)