LPA NTB Gandeng AIPJ Tangani Kasus Kekerasan Anak

oleh -98 Dilihat

Sumbawa Besar, SR (29/04) 

Drs H Baharuddin Nur, Ketua LPA NTB
Drs H Baharuddin Nur, Ketua LPA NTB

Kasus yang menimpa anak-anak terus mengalami peningkatan baik kuantitas maupun kualitasnya. Tidak hanya sebagai korban kekerasan, namun menjadi pelaku kejahatan. Sejauh ini penanganannya masih belum maksimal, sehingga banyak kasus yang menimpa anak tidak terselesaikan secara tuntas. Hal ini disebabkan selain tidak intensnya lembaga yang konsen terhadap anak, juga kurangnya perhatian pemerintah dalam mengalokasikan anggaran dalam kepentingan penanganan kasus yang menimpa anak. Hal ini mengemuka dalam kegiatan Koordinasi dan penguatan Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten Sumbawa kerjasama LPA Sumbawa, LPA NTB dan AIPJ (Australia Indonesia Partnership for Justice) di Istana Dalam Loka, Kesultanan Sumbawa, Senin (28/4).LPA NTB 1

Ketua LPA Kabupaten Sumbawa, Hj Nuryati Multazam mengakui kasus anak di daerah ini meningkat. Dalam melakukan tindakan dan advokasi, pihaknya menjalin kerjasama dengan lembaga terkait lainnya seperti LK3 Dinas Sosial dan P2TP2A BKBPP. Namun masih banyak kasus anak yang tidak tuntas seperti menjadi korban pemerkosaan hingga hamil dan melahirkan. Sementara pelakunya sulit terjerat karena tidak ada saksi yang melihat langsung kejadian tersebut. Untuk melakukan tes DNA terhadap anak yang dilahirkan, terkendala dana karena biayanya sangat mahal.

Ada juga beberapa siswa SD, SMP dan SMA yang menjadi korban pencabulan dan pemerkosaan yang terpaksa putus sekolah karena malu. Pihak sekolah tak bisa menjamin psikologis anak jika tetap bertahan bersekolah di sekolah tersebut terbebas dari ejekan dan hinaan teman-temannya. Ada juga mucikari cilik, dan trafficking yang diselesaikan secara damai oleh kedua belah pihak, bahkan ada yang dinikahkan. Selainnya LPA tidak dapat memberikan advokasi kepada anak korban kekerasan karena jarak tempuh yang cukup jauh, seperti yang terjadi di daerah terpencil yang harus dijangkau menggunakan mobil khusus (double gardan). Belum lagi anak korban perceraian kedua orang tuanya, terlantar dan tidak dinafkahi. Dalam menangani anak korban kekerasan ini, LPA merasa kesulitan mengingat belum adanya secretariat atau rumah aman. Selain itu belum adanya satu pemahaman antara LPA dengan penyidik kepolisian yang menangani masalah anak, sehingga banyak kasus mentok dan alot. “Inilah yang membuat kami prihatin,” akunya.LPA NTB 4

Baca Juga  Ratusan Personil Amankan Kampanye Sehat Firin--Fud

Hal senada diakui Ketua P2TP2A Sumbawa, M Ikraman S.Pt. Kendala yang paling mendasar dalam penanganan anak ini adalah ketersediaan anggaran. Sedangkan bagi anak korban kekerasan yang berada jauh dari jangkauan kota, telah disiasati dengan memanfaatkan penyuluh KB atau puskesmas di desa untuk memberikan pendampingan. Demikian dengan siswa yang bermasalah, direncanakan akan digiatkan home schooling.

Namun dia berharap permasalahan ini dapat menemui solusi melalui diskusi ini.

Sementara Drs H Baharuddin Nur selaku Ketua LPA NTB, menyatakan bahwa semua pihak memiliki kepedulian yang sama terhadap anak. Dan kasus anak banyak terjadi di lingkungan keluarga. Bahkan kasus inces (pelecehan seksual kerap dilakukan oleh orang yang berhubungan darah dengan korban. Seperti ayah terhadap anaknya, kakak terhadap adiknya. Di sekolah juga kerap terjadi kekerasan, tidak hanya secara fisik tapi yang paling sering adalah psikis. “Guru sering mengeluarkan kalimat “bodoh” kepada siswanya yang tidak mampu menjawab pertanyaan. Ini adalah kekerasan psikis,” katanya. Yang paling memprihatinkan adalah siswa korban perkosaan. Selain dikeluarkan dari sekolah dengan alasan pencitraan lembaga pendidikan, siswa ini dinikahkan secara paksa untuk menutup aib keluarga, ujung-ujungnya menjadi janda karena ditinggalkan sang suami yang tidak mencintainya.

Baca Juga  Terlelap, Uang Jutaan dan HP Lenyap

Belum lagi anak yang tersangkut hokum. Untuk diketahui, anak yang bermasalah dengan hokum tidak muncul begitu saja, mereka adalah produk masyarakat sendiri. Tentu ada kesalahan orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara sehingga anak melakukan tindak menyimpang. Itulah sebabnya perlu dilakukan pendekatan yang restorative, berupaya sedapat mungkin menghindari anak memasuki system peradilan pidana, namun tetap menjadi kasus sebagai pemebelajaran anak bahwa tindakan mereka salah. Sekaligus menempatkan masyarakat sebagai actor dalam penyelesaian masalah. “Dengan kata lain, masalah anak yang bermasalah dengan hokum merupakan collective responsibility kita,” tandasnya.

Rival Ahmad dari Australian Aid atau AIPJ (Australia Indonesia Partnership for Justice) mendukung penuntasan persoalan anak di Indonesia terutama di NTB. Karena itu pihaknya telah menjalin kerjasama dengan LPA NTB, mengingat kasus anak ini semakin meningkat. Apalagi muncul kasus JIS, yang cukup mengejutkan. Sebab di tempat yang dianggap paling aman bisa terjadi kasus serupa, apalagi yang jauh dari system pengamanan.

Belum lagi ada jutaan anak Indonesia yang tidak dianggap hadir di dunia hanya karena akte kelahiran. “Banyak anak tidak dianggap warga Negara Indonesia, sebab tidak punya akte tidak bisa sekolah.  Kalau anak sudah dimarjinalisasi seperti ini, maka dia akan meminggirkan dirinya sampai akhir, ini problem yang tidak kita inginkan,” pungkasnya sembari menyatakan bahwa masalah anak adalah persoalan bersama yang harus dituntaskan secara bersama pula. (Gaj)

 

rokok pilkada mahkota NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *